KALPATARA.ID – Satu hari menjelang Nyepi, upacara Tawur Kasanga dilaksanakan pada tengah hari. Tawur Kasanga yang diisi juga dengan parade ogoh-ogoh, menjadi peringatan akan berakhirnya sebuah waktu.
Waktu yang dimaksudkan adalah warsa atau tahun. Tilem Kasanga dilaksanakan tepat pada saat bulan dalam fase tidak terlihat dari bumi. Bukan karena tidak ada melainkan bagian bulan yang tanpa cahaya matahari tengah menghadap bumi.
Di penanggalan Bali, waktu tilem disepakati sebagai hari terakhir perhitungan satu bulan. Keesokan harinya di Pananggal 1, dimulailah penanggalan di bulan yang baru.
Hari Raya Nyepi adalah perayaan pergantian tahun pada penanggalan Bali yang berbasis pada tahun Saka.
Kata tawur, dalam bahasa Bali berarti mengembalikan atau melunasi. Artinya serupa dengan bahasa Jawa saur, melunasi hutang.
Di hari terakhir menjelang tahun baru, di hari terakhir satu warsa, tawur dilakukan untuk melunasi hal-hal yang sudah diterima sepanjang tahun berjalan. Manusia yang sudah mengambil banyak dari alam, di hari terakhir, sebelum berganti tahun melakukan pelunasan atau pengembalian.
Secara makna, filosofi tawur adalah agar kita selalu ingat akan posisi dan jati diri kita, dan agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan.
Rangkaian ritual yang dilakukan di hari tilem Kasanga, mulai dari mecaru, tawur hingga pangrupukan, menjadikan manusia ada dalam posisi sebagai penyeimbang dari segala unsur yang beredar di sekitarnya.
Dalam lontar Sang Hyang Swamandala, tawur merupakan upacara butha yadnya. Upacara yang dipersembahkan untuk butha dalam ruang diri manusia maupun ruang alam. Upacara ini bukan berarti melakukan persembahan terhadap butha, melainkan untuk “menjinakkan” unsur butha dalam bentuk memutus karma keburukan yang menempel, hadir atau tersimpan dalam ruang-ruang alam semesta, termasuk dalam diri manusia.
Melasti dan Tawur yang hadir sebagai rangkaian nyepi merupakan agenda-agenda yang tak terpisahkan dalam kaitannya mengembalikan lagi kesucian manusia dalam fitrahnya menjaga alam semesta. Kesucian manusia ada pada titik yang setimbang dari semua unsur yang ada, termasuk keburukan.
Makna kesucian bukan berarti menghilangkan sama sekali elemen-elemen keburukan, kesalahan atau karma yang pernah dilakukan. Karena manusia tetap berada di tengah-tengah itu semua. Kemampuan manusia untuk menjalankan dengan teguh dan tegap di titik kesetimbangan itulah yang menjadikannya memenuhi fitrah kemanusiaan.
Baca Juga: Ternyata Hari Raya Nyepi Punya Latar Belakang Astronomi
Melasti, Tawur dan melakukan Catur Brata Penyepian merupakan penggenapan untuk memulainya perjalanan di warsa yang baru.
Waktu-waktu yang ditetapkan dalam Penangggalan Bali menjadi waktu-waktu yang kemudian memandu penggunanya memahami dan terus mengingatkan kembali akan jati dirinya.
Di akhir waktu, pelunasan atas karma dan aksi-aksi mengambil hak manusia sebagai pengelola bumi dan segala isinya dikukuhkan melalui ritual tawur. Lalu di Hari Raya Nyepi, mengosongkan segala sesuatu yang bersifat keduniaan untuk mencapai kesadaran sebagai manusia yang terlahir kembali.
Begitulah masyarakat tradisi di Nusantara, mengisi waktu akhir tahun dan awal tahun, justru dengan mengosongkan dirinya, memperbaharui keutuhan dirinya sebagai manusia dari unsur-unsur butha demi tercapainya tujuan kemanusiaan hadir di muka bumi.***
Editor: Lisa Sastrajendra