KALPATARA.ID- Binarundak merupakan tradisi masyarakat suku Mongondow yang tinggal di wilayah desa Motoboi Besar, Kotamobagu, Sulawesi Utara.
Tradisi ini dilakukan pasca lebaran Idul Fitri, dimana pada momen ini masyarakat akan berkumpul bersama-sama membuat kuliner khas yaitu binarundak. Atau di Sulawesi Utara dikenal dengan nasi jaha. Sehingga tradisi ini sarat dengan nilai kebersamaan.
Nasi Jaha adalah kuliner khas Sulawesi Utara yang berbahan dasar beras ketan dan santan. Yang sebelumnya diisi ke dalam batang bambu berlapis daun pisang kemudian dibakar. Kuliner ini memiliki cita rasa yang berasal dari rempah yang digunakan dalam pengolahannya.
Tradisi binarundak biasanya dilakukan sekitar tiga hari sampai seminggu setelah Idul fitri.
Selain berkumpul dan masak bersama, tujuan dari tradisi ini adalah sebagai momen reuni dan silaturahmi para masyarakat setempat yang merantau ke luar kota, dan kembali ke kampung halaman saat lebaran, sekaligus menjadi penutup perayaan Lebaran, sebelum mereka kembali ke perantauan.
Asal-usul Tradisi
Sebagai tradisi masyarakat yang sudah diwariskan secara turun-temurun, Binarundak terinspirasi dari tradisi yang lazim dilaksanakan tujuh hari setelah Idul Fitri oleh masyarakat Jaton (Jawa Tondano) di Minahasa atau Gorontalo.
Bedanya, selain waktu pelaksanaaan, juga jenis makanan yang disajikan. Tradisi Binarundak sendiri sengaja dibuat warga yang pulang mudik dari rantau seperti dari Jawa, Sumatera, Kalimantan ataupun dari beberapa daerah lainnya di Sulawesi dan Maluku.
Upaya pelestarian tradisi
Bagi masyarakat Desa Motoboi Besar, Binarundak bukan hanya tradisi, namun sudah menjadi ikon dan kebanggaan desanya.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian tradisi, pemerintah daerah setempat meresmikan Tugu Binarundak pada 2 Agustus 2014. Bangunan tugu ini memiliki tinggi 18m, dengan besar lingkaran bangunan 70cm, dan diameter alas seluas 1,5m.
Tugu itu berdiri tegak dan kokoh di tengah desa, tepatnya di jalan Teuku Umar, Motoboi Besar.
Sebagai tradisi, masyarakat di wilayah ini menjadikan kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya, tepatnya sepekan setelah perayaan Idul Fitri.
Selain menjadi rangkaian perayaan Idul Fitri, tradisi ini juga merupakan ajang bermaaf-maafan sebelum pemudik kembali ke tanah perantauan.
Tradisi ini juga menjadi bentuk pengingat kampung halaman masyarakat Mongondow, sehingga kearifan lokal tetap lestari.***