KALPATARA.ID – Baru saja usai dilaksanakan di Nepal yang dihadiri oleh petani-petani muda dari berbagai negara lintas benua Asia dan Afrika.
Pengalaman menarik dan penuh inspirasi digulirkan salah satu peserta yang berasal dari Indramayu, Mahmud Zulfikar. Kepada tim Kalpatara Zul menceritakan awal mula keberangkatannya ke Nepal sebagai delegasi negara.
“Pada siang hari menuju sore, di saat saya hendak bersiap ke ladang untuk menyiram caisim dan kangkung, tiba-tiba saya ditelpon Bang Afgan (Staff Departemen Luar Negeri DPP Serikat Petani Indonesia). Kau punya paspor Zul? Ini ada undangan pelatihan agroekologi di Nepal tanggal 27 Oktober sampai 13 November. Bisa kau?”
Dimulai dari percakapan di hari Sabtu (7/10/2023) itu, kemudian Zul mulai mengurus semua dokumen yang diperlukan, termasuk paspor yang sebenarnya telah dalam keadaan usang. Saat itu Zul juga mengaku sedikit tidak percaya dengan tugas ini, “woyyy luar negeri woyyy, jadi petani internasional kita nih” Zul menceritakan antusiasmenya kepada Kalpatara.
Menurut Zul yang menarik ketika mengurus paspor adalah pertanyaan petugas imigrasi ketika mewawancarai keperluan perjalanannya. “Ijazah Mas kan Sastra Indonesia, kok ikut pelatihan pertanian Mas, emang punya background pertanian?”
Ditengah keramaian kantor imigrasi dengan penuh kebanggaan Zul menjawab “Saya petani Pak, pekerjaan saya petani. Warisan saya sawah, masa mau saya jual Pak sawahnya”. Petugas imigrasi tersenyum yakin, “Oke masuk akal. Memang anak muda ya” ujar sang petugas yang kemudian memantik tawa kecil keduanya.
Setelah semua dokumen lengkap, selanjutnya adalah mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa, dan sebagaimana ciri khas pertemuan petani kita diharuskan membawa benih lokal dan makanan lokal sebagai cerminan kedaulatan benih kita. Dan untuk urusan benih, saya percayakan pada Kang Aruna sebagai jejaring pemulia benih Nusantara Code Indramayu.
Pada pertemuan-pertemuan atau pendidikan internasional SPI bersama La Via Campesina (gerakan petani internasional) biasanya disertakan interpreter untuk membantu delegasi SPI dalam berkomunikasi. Namun pada kursus “Bioinputs International School” ini nampaknya agak berbeda.
Zul juga mengisahkan bagaimana komunikasi lintas bahasa dibangun selama di Nepal menjadi tantangan bagi Zul. “Salah satu Kau nanti berangkat sama Agus Zul. Dia gak bisa Bahasa Inggris, nanti kau jadi interpreter nya ya.” kenang Zul.
“Mak deg, Oke siap! Dengan yakin saya bilang siap. meskipun tidak taulah segimana lancar proses penerjemahan ke kawan saya ini, tapi yang penting yakin! Karena selain ini jadi perjalanan internasional pertama, tampaknya ini juga tugas pertama saya jadi penerjemah. Maka modal utamanya adalah yakin!!!” lanjutnya lagi.
Ketika tiba di Tribuvan International Airport (Kathmandu, Nepal) delagasi Indonesia disambut dengan tim dari ANPFa (All Nepal Peasant’s Federation). Pada momen tersebut Zul langsung menyadari dan kekhawatirannya terjadi, aksen Bahasa Inggris yang digunakan membuatnya sedikit kesulitan untuk memahami.
“Setidaknya di lima hari pertama kepala saya berdering kencang ketika memahami narasumber yang masih meninggalkan aksen native language nya ketika berbicara bahasa Inggris. Namun setelahnya saya bisa beradaptasi.” ungkap Zul.
Di hari pertama pembukaan short course (yang tidak short juga) Bioinputs International School (BIS) ini peserta dijelaskan bagaimana fokus sekolah ini berpijak pada tiga poin.
Dengan berlatar belakang sejarah pertanian di berbagai belahan dunia yang melahirkan kemiskinan, kelaparan, terbunuhnya keanekaragaman hayati, hingga senjanya budaya kedaulatan pangan kita, BIS berfokus pada:
(1) Cara mempopulerkan produksi bioinputs; (2) Mendorong model pertanian agroekologi sebagai pembicaraan publik; (3) Pertukaran pengalaman praktek membangun gerakan agroekologi dari masing-masing perwakilan organisasi.
BIS adalah sekolah yang diinisiasi oleh Baobab – IAPC (International Association for Popular Cooperation) sebuah asosiasi non-profit yang dibentuk untuk mendukung gerakan petani dan gerakan sosial lainya di Global South dalam perjuangannya membangun kedaulatan pangan bangsa-bangsa.
Pada sesi pembukaan BIS, dekorasi ruangan aula begitu memukau mata, karena selain di meja utama dipenuhi hasil bumi dan benih-benih dari Nepal, di tengah-tengah aula juga tertulis “Bioinputs International School – Nepal 2023” dan ditulis dengan benih-benih hasil penangkaran petani Nepal.
Selain itu meja-meja dibuat membentuk letter u dengan bendera dan spanduk dari masing-masing organisasi. Peserta yang hadir pada sekolah ini datang dari 3 benua, Asia (Nepal, Indonesia, India, Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan), Benua Afrika (Ghana, Zimbabwe, Zambia, Afrika Selatan, Tanzania) dan fasilitator dari Benua Amerika Latin dan Afrika (Argentina, Brazil, Ghana, Tanzania).
Pertemuan ini membuat Zul teringat akan konferensi pertama tingkat Asia-Afrika yang sangat bersejarah, yakni Konferensi Asia Afrika yang digelar di Bandung pada 18-24 April 1955 silam. Mengingat konferensi ini bertujuan membangun aliansi non-blok dan mendukung penuh kemerdekaan bagi setiap negara di Benua Asia-Afrika dari penjajahan dan imperialisme.
Pun tampaknya dengan pertemuan petani pada Bioinputs International School ini, para petani muda berangkat dari detak jantung yang sama: gerakan petani yang terorganisir atas perampasan tanah, penggusuran lahan, penyeragaman budidaya pertanian konvensional, teknologi yang merusak lingkungan, merampas keanekaragaman hayati, mengikis semangat kedaulatan pangan dan meninggalkan kemiskinan dan kelaparan orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Zul menambahkan dari keberangkatannya ke Nepal ada hal besar yang ia sadari. “Sebelum saya menginjakan kaki di negeri pegunungan Himalaya, saya mengira dampak kasarnya revolusi hijau hanya terjadi di Indonesia. Ternyata eh ternyata, penetrasi korporasi agribisnis yang dibekingi lembaga moneter internasional menukik di semua negara-negara di setiap benua yang memiliki kultur pertanian yang kental.” katanya.
Pada pertemuan para petani muda di Bioinputs International School menyepakati bahwa agroekologi adalah satu-satunya jalan mengembalikan kedaulatan budaya pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani, memperbaiki struktur tanah dan mendinginkan planet. Tidak ada alternatif lain.***
Editor : Reza Fahlevi