KALPATARA.ID- Karungut adalah sastra lisan yang sakral masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Kesenian ini berupa pantun yang dilagukan, yang sarat dengan nilai-nilai kebajikan.
Biasanya Karungut dilantunkan dalam upacara suci agama Kaharingan dan dinyanyikan menggunakan bahasa Sangiang.
Kini sastra lisan sudah dianggap sebagai salah satu kesenian daerah Kalimantan Tengah sehingga semua kalangan suku Dayak boleh melantunkannya. Tentunya dengan tema dan lirik yang dimodifikasi.
Kesenian daerah ini menjadi salah satu karya yang dijunjung masyarakat Dayak sebagai sastra besar klasik, semacam pantun atau Gurindam.
Lantunan Karungut pada dasarnya mengisahkan syair-syair kebajikan dari berbagai macam legenda dan mitologi penciptaan alam semesta, khususnya dalam agama Kaharingan.
Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan, yang sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan.
Selain itu, kesenian ini menjadi puji-pujian kepada Ranying Hatalla (Tuhan dalam agama Kaharingan). Digunakan juga sebagai cara berkomunikasi dengan roh gaib dan sebagai nasihat kepada para pendengar mengenai kehidupan sehari-hari.
Asal-usul Karungut
Dalam kepercayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, dipercaya bahwa manusia pertama kali diturunkan dari langit ke bumi menggunakan Palangka Bulau (wadah/wahana suci) oleh Ranying Hatalla. Yang diiringi dengan alunan suara yang disebut Karunya.
Dalam bahasa Sangiang atau bahasa Dayak Ngaju Kuno, Karunya berarti tembang. Alunan tembang Karunya inilah yang kini dikenal dengan sebutan Karungut.
Pada dasarnya bahasa yang digunakan dalam nyanyian kesenian ini adalah bahasa Sangiang atau bahasa Ngaju kuno yang sangat tinggi nilai sastranya.
Sehingga tradisi lisan ini sebenarnya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Dayak yang melaksanakan upacara-upacara. Khususnya upacara keagamaan, adat, perkawinan, dan syukuran. Yang selalu disertai dengan kegiatan kesenian seperti tari Manasai Karungut, Tandak Mandau, dan Deder.
Sementara menurut, Neni Puji Nur Rahmawati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat, menyatakan bahwa asal mula Karungut berasal dari Kendayu. Yaitu puji-pujian atau kidung dalam agama Hindu Kaharingan. Oleh karena itu kadang-kadang orang mengatakan Karungut itu Kendayu. Dan dahulu, Karungut tersebut dipakai sebagai alat oleh ibu-ibu untuk menidurkan anak-anaknya dengan cara bernyanyi dan bersenandung.
Nilai Kebajikan Dalam Syair
Sebagai salah satu seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai kebajikan dengan meramu bermacam legenda, nasihat, teguran, dan peringatan mengenai kehidupan sehari-hari.
Jika seni ini dilantunkan hanya seorang saja, biasanya hanya diiringi dengan alat musik utamanya adalah Kecapi khas Dayak. Namun jika dipertontonkan di muka umum atau dalam sebuah grup bisa bermacam-macam alat musik yang digunakan untuk mengiringi Karungut, seperti Gong (Kakanong), suling, dan gendang.
Dalam acara adat misalnya, biasanya Karungut dibawakan oleh sekelompok orang, biasanya terdiri atas 3-4 orang. Seorang memainkan kecapi, seorang memainkan gendang (katambung) dan seorang memainkan gong. Serta seorang Pangarungut sebutan untuk pelantun syair-syair Karungut yang dikenal dengan Pangarungut.
Syair-syair dalam kesenian ini bisa menjadi wahana yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan dan nilai-nilai keluhuran budaya.
Pada tahun 2011, Karungut ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia untuk domain seni pertunjukan.
Sebagai tradisi kebanggaan masyarakat Dayak Ngaju, kesenian ini masih dapat dijumpai dalam upacara suci agama Kaharingan, Festival Tandak Intan Kaharingan, perlombaan seni budaya Kalimantan Tengah, hajatan, pernikahan, penyambutan tamu penting dan acara lainnya.
Sebagai sastra lisan kuno dengan nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam Karungut ini, tentunya hal ini menjadi salah satu akar budaya nusantara yang patut mendapatkan perhatian untuk terus menjunjung tinggi nilai moral dan etika di Indonesia.