Penulis: Lisa Sastrajendra
Pada Agenda 21, PBB mendeklarasikan tahun 2002 sebagai “Tahun Pegunungan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Organisasi tersebut menyatakan bahwa mulai tahun 2003 Hari Gunung Sedunia akan diperingati setiap tahun pada tanggal 11 Desember. Di tanggal itu, tahun 2021, Indonesia menghadapi dampak dari letusan Gunung Semeru.
Hari Gunung Sedunia dibuat pada tahun 1992 ketika Bab 13 dari Agenda 21 “Mengelola Ekosistem: Pembangunan Gunung Berkelanjutan” diadopsi pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan.
Baca Juga: 5 Gunung di Indonesia yang Mengubah Iklim Dunia
Hari Gunung Sedunia menjadi penting karena menyerukan kesadaran akan pentingnya melestarikan keanekaragaman hayati dan lanskap alam. Selain populasi dan keanekaragaman hayati, pegunungan menyediakan air bersih untuk separuh kehidupan manusia sehari-hari.
Perubahan iklim telah membuat hidup menjadi sulit bagi orang-orang yang tinggal di pegunungan. Meningkatnya suhu juga menyebabkan gletser gunung mencair pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, mempengaruhi pasokan air tawar ke jutaan orang. Masalah-masalah ini mempengaruhi hampir semua orang secara global. Oleh karena itu sangat penting untuk menjaga warisan alam ini.
Pentingnya Hari Gunung Sedunia adalah untuk membuat orang sadar akan gunung dan bentang alam. Lokasi geografis pegunungan secara bertahap berubah karena perubahan iklim dan bentuk lahan. Gunung ditebang dan hutan dihancurkan. Melakukan hal itu dapat membuat kehidupan menjadi sangat sulit bagi populasi masa depan kita. Dalam situasi seperti itu, masyarakat perlu diorganisir untuk menjelaskan tanggung jawab mereka terhadap pegunungan.
Di Indonesia, Hari Gunung Sedunia diperingati dengan cara yang berbeda. Di tanggal 11 Desember yang semestinya diperingati sebagai Hari Gunung Sedunia dengan ekosistem yang berkelanjutan, Indonesia justru harus bermuram karena masih menangani dampak letusan Gunung Semeru.
Hingga tanggal 9 Desember, BNPB melansir data korban Semeru sebanyak 43 orang meninggal dunia; 104 luka-luka; 13 orang masih dinyatakan hilang; kerusakan terjadi pada 2.970 bangunan, 42 unit sarana pendidikan, 1 unit fasilitas kesehatan, 1 unit jembatan, 17 unit sarana ibadah.
Selain korban manusia, juga tercatat hilangnya 764 ekor sapi, 684 ekor kambing, 1.578 unggas.
Lokasi terdampak paling parah dan masih dalam status pencarian korban adalah Curah Kobokan, Kajar Kuning
Tambang Satuhan/Kebondeli Utara, Kampung Renteng, Kebondeli Selatan.
Sementara itu, terdapat 121 titik lokasi pengungsian ribuan warga yang tempat tinggalnya terdampak.
Kadin Indonesia mencatat setidaknya 200 hektar sawah rusak dan dipastikan mengalami gagal panen. Bahkan berdasarkan data citra satelit SPOT 7 yang diteliti Organisasi Penerbangan dan Antariksa (ORPA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lahan seluas 2.417,2 Ha di Kabupaten Lumajang terdampak letusan.
Ironisnya, pada peringatan hari Gunung Sedunia PBB menganjurkan mengisinya dengan mendorong semangat orang-orang yang tinggal di daerah perbukitan, orang-orang yang bekerja di gunung, pendaki gunung, organisasi sosial untuk merayakan hari ini. Berbagai kompetisi berlangsung di forum yang berbeda.
Pada hari ini anak-anak harus menulis esai pada Hari Gunung Sedunia dan program harus diselenggarakan di sekolah dan pidato harus diberikan pada Hari Gunung Sedunia.
Tahun 2021, Hari Gunung Sedunia mengambil tema Wisata Gunung Berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan di pegunungan dapat berkontribusi untuk menciptakan pilihan mata pencaharian tambahan dan alternatif dan mempromosikan pengentasan kemiskinan, inklusi sosial, serta lanskap dan konservasi keanekaragaman hayati.
Ini adalah cara untuk melestarikan warisan alam, budaya dan spiritual, untuk mempromosikan kerajinan lokal dan produk bernilai tinggi, dan merayakan banyak praktik tradisional seperti festival lokal.
Wisata gunung menarik sekitar 15 hingga 20 persen dari pariwisata global. Pariwisata, bagaimanapun, adalah salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh pandemi Covid-19, mempengaruhi ekonomi, mata pencaharian, layanan publik, dan peluang di semua benua. Di pegunungan, pembatasan pandemi semakin memperparah kerentanan komunitas pegunungan.
Krisis ini dapat dilihat sebagai peluang untuk memikirkan kembali pariwisata gunung dan dampaknya terhadap sumber daya alam dan mata pencaharian, untuk mengelolanya dengan lebih baik, dan memanfaatkannya untuk masa depan yang lebih tangguh, hijau, dan inklusif.
Kali ini, Semeru berkata lain. Di angka 21 yang sama dengan Agenda 21, gunung masih memiliki bahasanya sendiri.
Tapi manusia tidak boleh kehilangan harapan. Karena itu lah yang membuatnya tetap hidup dan menyalakan nyawa kehidupan yang masih ada di putaran bumi.
Korban manusia harus tertangani dengan prioritas kemanusiaan yang tinggi. Namun tak kalah pentingnya adalah kesadaran untuk memperbarui kembali lingkungan yang porak poranda. membangun ulang ruang yang telah mosak masik oleh dampak letusan menuju ke arah yang lebih lestari.
Endapan abu vulkanik pada mulanya akan menjadi gangguan bagi keberlangsungan hidup beberapa saat. Namun dengan pengolahan yang tepat maka endapan abu vulkanik dapat membantu kesuburan tanah kembali dan menangkap karbon dioksida di udara. Demikian yang dikatakan dalam Artikel berjudul How Mount Agung’s Eruption Can Create the World’s Most Fertile Soil yang dilansir dari laman The Conversation.
Baca juga: Terbukti, Gunung Meletus Punya Dampak Dinginkan Bumi
Kita mungkin perlu bersabar, kita mungkin perlu kembali lagi mengumpulkan pengetahuan yang memiliki konsep berkelanjutan untuk menata ulang wilayah dampak letusan Gunung Semeru. Bukan lagi untuk kenyamanan sesaat namun mendasarinya dengan mind set keberlanjutan kehidupan bagi alam dan bagi manusia.
Dari Semeru di Hari Gunung Sedunia kita belajar tentang sebuah galibnya kehidupan, yaitu siklus sebagai simbol keberlanjutan. Bukan berpilin menuju perusakan, namun bersama alam bergerak menuju pembaharuan yang lestari.
Salam Gunung. Salam Lestari.