KALPATARA.ID- Ma’burasa merupakan salah satu tradisi dalam membuat kuliner khas masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan menjelang Idul Fitri. Ma’burasa berasal dari bahasa Bugis yang berarti membuat burasa’, sebuah kuliner tradisional dari masyarakat Bugis.
Ma’burasa terkait dengan pembuatan burasa’ dari beras yang dicampur santan dan diberi sedikit garam. Kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diikat secara khusus. Setelah itu, burasa’ lalu direbus dalam waktu yang cukup lama. Bentuk burasa’ ini mirip dengan lontong yang dibentuk pipih.
Tradisi Ma’burasa diajarkan secara turun-temurun dan tetap terjaga hingga saat ini, karenanya masyarakat Bugis membawa kebiasaan ini kemanapun mereka pergi. Sebab menjadi pengingat tentang kebiasaan orang tua dahulu menjelang lebaran.
Bagi masyarakat Bugis, membuat burasa’ sudah menjadi tradisi terutama saat keluarga ingin merantau atau berpergian jauh.
Ma’burasa dan Nilai Gotong Royong
Ma’ burasa memiliki makna filosofi yaitu penyatuan dan solidaritas agar membentuk nilai Sipakatau (saling menghargai), Sipakalebbi (saling memuliakan) dan Sipakainge (saling mengingatkan) dalam keluarga dan kehidupan sosial.
Pada zaman dulu, tradisi ini dilakukan bersama-sama, baik dengan tetangga atau keluarga besar. Para perempuan baik ibu-ibu maupun anak-anak remaja duduk bersama untuk membungkus dan mengikat burasa’ di salah satu teras rumah.
Kemudian kaum laki-laki akan menyiapkan alat masak di atas tungku. Mereka bertugas untuk menjaga api tungku hingga burasa’ matang. Jadi sangat terasa nilai gotong-royong dalam Ma’burasa ini.
Proses memasak burasa’ cukup lama, yaitu sampai delapan jam. Setelah masak, hasilnya nanti akan dibagi sesuai dengan jumlah keluarga yang dimiliki.
Selain mengajarkan nilai gotong-royong, melalui tradisi Ma’burasa ini juga diajarkan solidaritas. Melalui tradisi ini, masyarakat Bugis mengajarkan secara turun temurun sikap saling berbagi kepada keluarga yang kurang mampu. Sehingga menjaga nilai kebersamaan di dalam tatanan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan Ma’burasa saat ini hanya dilakukan oleh keluarga inti saja dan di rumah masing-masing. Ibu hanya melibatkan anak-anak perempuannya pada kegiatan Ma’burasa dan sang suami menjaga api hingga burasa’ matang.
Nilai-nilai yang diajarkan dalam tradisi Ma’burasa tidak terkikis meskipun hanya dilakukan pada keluarga inti.
Momen Wariskan Membuat Burasa’
Selain mengajarkan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas kepada generasi selanjutnya. Tradisi Ma’burasa juga menjadi momen bagi para orang tua mengajarkan membuat burasa’ kepada anak-anaknya. Karena dalam proses pembuatan burasa’ yang tidak mudah. Selain itu, tradisi Ma’burasa biasanya hanya dilakukan dua kali dalam setahun.
Burasa’ tidak hanya dimasak sekali. Terlebih dahulu beras dimasak dengan santan yang cukup banyak dan ditambahkan sedikit garam. Setelah masak, kemudian dibungkus, diikat, lalu dimasak kembali dengan waktu cukup lama di atas tungku.
Membungkus dan mengikat burasa’ juga tidaklah mudah. Beras yang sudah dimasak dengan santan dibungkus dengan daun pisang dengan bentuk pipih. Proses membungkusnya harus dilakukan satu persatu dengan mempertimbangkan takaran yang tepat.
Setelah itu, burasa’ diikat sampai padat agar tidak mudah terurai. Kadang kala, dua atau tiga tangkup burasa’ diikat menjadi satu.
Yang menjadi daya tarik tradisi Ma’burasa di Makassar adalah proses pembagian burasa’ kepada orang atau keluarga yang membutuhkan. Sebelum dibagikan, nantinya akan dilaksanakan ritual membaca doa yang dikenal dengan Mabbaca-baca.
Nilai-nilai gotong-royong dalam tradisi Ma’burasa ini menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki budaya gotong-royong yang berakar dari tradisi nenek moyang beragam suku yang ada di Indonesia.***