KALPATARA.ID – Melasti, sebagai salah satu rangkaian Hari Raya Nyepi mengandung sakralitas makna yang luas. Penyucian yang dilakukan saat melasti dilakukan di ruang dan waktu alam raya yang sedang mengalami peralihan.
Pelaksanaan melasti mengikuti Penanggalan Bali, yaitu pada Penanggal 13 Sasih Kasanga. Lontar Sundarigama memberikan landasan tentang tujuan melasti sebagai masa dimana para dewata melakukan penyucian diri menuju pusat samudera. Berdasarkan inilah kemudian pelaksanaan melasti dilakukan di sumber-sumber air.
Tahun Saka di Penanggalan Bali berakhir pada tilem Kasanga, bulan ke sembilan, dimana angka 9 adalah angka yang paling tinggi dalam kosmologi Bali. Pada Sasih Kasanga ini juga, kedudukan matahari tepat berada di khatulistiwa, dalam perjalanannya menuju ke titik balik Utara. Dalam istilah astronomi fenomena ini disebut sebagai ekuinoks.
Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala, menyebutkan melasti sebagai ngarania ngiring prewatek Dewata, anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana.
Melasti memiliki inti makna mengiringi bakti pada dewata, menghanyutkan nestapa jagat, kekotoran diri dan bumi. Dilakukan sebagai bentuk bakti pada dewata, di dalam pelaksanaannya melasti merangkum buana alit (manusia) dan bhuana ageng (alam semesta) untuk bersama, mengakhiri warsa (tahun) yang telah terjalani dan terlewati, menghanyutkan kekotoran dari jejak langkah untuk kemudian bersiap diri dalam diri yang bersih di warsa berikutnya.
Konsep waktu merupakan hal yang tak terpisahkan dalam masyarakat Hindu Bali. Di tiap pergantian waktu, ditengarai sebagai masa yang genting karena berkaitan dengan peralihan. Kesadaran akan ruang dan waktu termaktub dalam Penanggalan Bali. Semua unsur dalam Penanggalan Bali menempati arti penting dalam segala aspek kehidupan umat Hindu Bali. Penerapan Penanggalan Bali bersifat sosio-religius, terkait dengan sekala dan niskala, aktivitas manusia hingga upacara keagamaan (yajnya)
Trisandya, puja yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari, dilakukan di tiap-tiap pergantian waktu, pagi-siang-malam. Sembahyang tilem dan purnama, mengiringi perubahan fase bulan, dan pergantian tahun yang dilaksanakan dalam rangkaian selama beberapa hari menjelang, pada saat pergantian waktu dan setelahnya.
Baca Juga: Hari Raya Nyepi dan Rangkaiannya, Sinkronisasi Bumi dan Langit
Semuanya merupakan beberapa aktivitas puja yang dibangun berdasarkan kesadaran akan ruang dan waktu. Dan dalam pelaksanaan itu, ketika sang waktu memberi pertanda peralihan, aktivitas duniawi seakan berhenti, mengajak bakti dan sembah raga dan sembah Hyang untuk merasukkan waktu alam raya ke dalam diri manusia. ***
Editor: Lisa Sastrajendra