KALPATARA.ID – Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menyambut bulan suci Ramadan dengan menjalankan tradisi Nyadran.
Istilah Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata Sraddha yang artinya keyakinan. Tradisi ini merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang.
Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui Wali Songo, tradisi yang ada tidak dihilangkan namun justru menjadi media dalam menyebarkan Islam.
Seiring masuknya Islam, tradisi Sraddha mengalami perubahan. Sebelum Islam, Sraddha dilakukan untuk memperoleh berkah. Dalam perkembangannya, tradisi ini menjadi wujud rasa syukur atas anugerah Allah SWT kepada warga. Setelah pengaruh Islam, digunakan kata nyadran. Jadi nyadran adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Tradisi Nyadran di setiap wilayah dikenal dengan nama yang beragam. Di Jawa Tengah seperti Banyumas dikenal dengan Nyadran. Di Temanggung dan Boyolali dikenal dengan sebutan Sadranan. Sementara di Jawa Timur disebut Manganan atau sedekah bumi.
Biasanya tradisi Nyadran diselenggarakan satu bulan sebelum dimulainya puasa Ramadan yaitu tanggal 15, 20 dan 23 Ruwah. Namun ada pula yang dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Syaban.
Walaupun dilaksanakan pada waktu yang berbeda di setiap wilayahnya, nyadran umumnya dilaksanakan pada bulan Ruwah pada kalender Jawa atau bulan Syaban pada kalender Hijriyah yang jatuh sebelum bulan Ramadan.
Tradisi Nyadran di setiap wilayah mempunyai ciri khas yang berbeda-beda sesuai dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya.
Secara umum, kegiatan masyarakat Jawa melakukan penyucian diri (padusan), mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan kendurian.
Prosesi kendurian menjadi salah satu yang ditunggu oleh masyarakat. Dimana setiap keluarga membawa masakan hasil bumi. Masyarakat membaur menikmati makanan, yang dihidangkan di atas daun pisang, serta melakukan doa bersama sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang bulan Suci. Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.
Pada tahun 2013, Nyadran telah masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda dalam domain adat istiadat, ritus dan perayaan-perayaan dari Jawa Tengah.
Tradisi Nyadran ini telah dijaga selama ratusan tahun oleh masyarakat, mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu.***