KALPATARA.ID – Sebagai kearifan lokal hidangan asli Indonesia nasi tumpeng tak hanya memiliki cita rasa yang nikmat dan visual yang sedap dipandang mata tetapi juga memiliki kisah sejarah dan nilai filosofi yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.
Nasi tumpeng diperkirakan telah ada sejak jaman penyebaran agama hindu di Indonesia. Nasi tumpeng diyakini berasal dari kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Sejak abad ke 13 hingga ke 16 masa pemerintahan kerajaan Majapahit nasi tumpeng telah hadir sebagai persembahan terhadap para dewa dalam upacara keagamaan.
Nasi tumpeng memiliki visual nasi berwarna kuning berbentuk kerucut yang menyerupai gunung. Masyarakat hindu pada masa tersebut meyakini Gunung Mahameru merupakan tempat bersemayamnya para dewa yang agung sehingga nasi tumpeng dibuat berbentuk mengerucut layaknya gunung Mahameru. Nasi tumpeng menjadi simbol penghormatan terhadap para dewa dewi yang besar dan tinggi sesuai dengan konsep ketuhanan yang diyakini masyarakat pada masa itu.
Masuknya ajaran agama islam ke pulau Jawa membuat makna nasi tumpeng mengalami pergeseran. Jika sebelumnya nasi tumpeng merupakan persembahan untuk memuliakan gunung maka kemudian di era penyebaran agama islam nasi tumpeng merupakan wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu nasi tumpeng juga menjadi lambang nilai toleransi, keikhlasan, dan kebesaran jiwa.
Kata tumpeng merupakan akronim yang berasal dari bahasa Jawa yakni “Tumepaking Panguripan Tumendak Lempeng Tumuju Pangeran” yang artinya Manusia Hidup Menuju Jalan Tuhan. Dalam literasi berbeda ada juga yang menyebutkan jika kata Tumpeng berasal dari “Yen Metu Kudu Mempeng” yang bermakna saat seseorang telah dilahirkan maka ia harus menjalani kehidupan dengan penuh kesungguhan dan keyakinan.
Dilansir dari buku Bali bukan India karya Santo Saba Piliang tumpeng merupakan hidangan asli Indonesia yang menunjukan kondisi geografis Indonesia yang banyak memiliki gunung. Sementara ragam sayuran dan lauk pauk yang mengelilingi nasi tumpeng menunjukkan ekosistem kehidupan yang ada di Indonesia. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut berwarna kuning menjulang tinggi memiliki makna filosofi kesuburan, kemakmuran dan kejayaan.
Meski umumnya nasi tumpeng berwarna kuning ada juga yang berwarna putih yang menyimbolkan kesucian dan kemurnian hati. Bentuk nasi tumpeng yang menjulang tinggi sendiri merupakan filosofi keagungan Tuhan. Nasi Tumpeng selalu ditemani pelengkap lauk dan sayuran di sekelilingnya. Biasanya ada tujuh macam lauk nasi yang dihidangkan bersamaan dalam satu nampan nasi tumpeng.
Jumlah hidangan lauk dan sayur juga tidak sembarangan tercipta karena jumlah tujuh hidangan memiliki arti pertolongan dari yang Maha Kuasa. Hal tersebut merujuk pada kata “Pitu” dalam bahasa Jawa yang merupakan kependekan dari kata Pitulungan atau pertolongan.
Tujuh macam lauk tersebut adalah urab yang melambangkan perlindungan dan pertimbangan hal-hal baik dalam memutuskan berbagai hal. Sayuran Kluwih disimbolkan sebagai keinginan mendapatkan rezeki berlimpah dan kesuburan. Telur menggambarkan kebulatan tekad dan kebersamaan. Ikan menyimbolkan keuletan dan ayam menyimbolkan kepatuhan. Menu lainnya seperti tempe orek dan sambal serta ikan asin juga merupakan simbol filosofis sifat masyarakat Indonesia yakni gotong royong.
Dalam susunannya tumpeng terbagi atas tiga bagian. Pemotongan nasi tumpeng di bagian utama atau puncak kerucut tumpeng harus dilakukan oleh seorang yang memiliki tahta atau yang dihormati di masyarakat. Pada bagian kedua tumpeng dipotong oleh pemilik acara atau pemilik hajat hingga dua pertiganya terbelah.
Dahulu tumpeng dapat ditemukan dalam berbagai acara tradisi yang berkaitan dengan daur kehidupan manusia seperti kehamilan, kelahiran, hingga kematian. Tetapi kini nasi tumpeng dapat dijumpai dengan mudah dalam berbagai momen istimewa seperti ulang tahun, pernikahan, peresmian usaha, syukuran, festival hingga lomba kemerdekaan.***