KALPATARA. ID – Budaya dan pangan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan bagi petani tradisional, terlebih bagi masyarakat adat yang masih kental dengan kearifan lokal sudah turun temurun sejak nenek moyang.
Walaupun budaya kearifan lokal saat ini sudah mulai berkurang dan bahkan hilang lantaran perkambangan zaman yang serba modern, namun masyarakat adat masih tetap menjaga budaya leluhurnya seperti budaya Ngerandet pada masyarakat petani di Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Petani di Desa Sungai Enau masih kuat dengan keyakinan bahwa apa yang dilakukan para nenek moyangnya merupakan suatu kebaikan dalam tata kelola pangan yang baik untuk keberlangsungan hidup. Oleh sebab itu, petani tradisional di Desa Sungai Enau mengemas tata kelola pertanian seperti pertanian padi dengan konsep budaya ngerandet atau berandet.
Kondisi masaryarakat di Desa Sungai Enau yang ditempati berbagai suku dan ras seperti Madura, Dayak, Melayu, Bugis dan Tionghoa. Baik mayoritas maupun minoritas masyarakat Kuala Mandor B memiliki budaya hampir sama di sektor pertanian.
perbedaan budaya pertaian hanya terletak pada penyebutan atau istilah dan keyakinannya saja. meski demikian tujuannya tetap satu yakni bertani dengan kearifan lokal seperti yang diajarkan oleh orang terdahulu seperti Ngerandet.
Dijelaskan oleh Adrianus Adam Tekot selaku Timanggong Binua Sunge Manur, bahwa dalam mengelola pertanian, masyarakat adat dayak menggunakan budaya berandet atau ngerandet atau dalam bahasa dayak disebut balale’ memiliki arti kebersamaan atau gotong royong.
Lewat tradisi ngerandet masyarakat Sungai Enau Kubu Raya setempat petani diajarkan bekerja sama dalam bertani mulai dari persiapan, menanam hingga penyimpanan hasil pertanian padi.
Budaya ngerandet ini dilaksanakan setiap tahun sekali sejak nenek moyang terdahulu. Ngerandet terbagi atas dua katagori yakni ada ngerandet yang harus dibalas dan ada juga yang tidak perlu dibalas. Contoh ngerandet tidak perlu dibalas seperti mufakat yakni untuk mengundang orang untuk mengerjakan sesuatu atau misalnya menanam padi dengan memberi makan pada orang yang diundang tesebut, maka tidak perlu untuk dibalas.
Tetapi jika ngerandet balale’ maka harus dibalas, walaupun di sektor pertanian yang berbeda. Karena sistem ngerandet ini menggunakan sistem giliran dan ini yang lumrah digunakan oleh petani di Sungai Enau hingga saat ini. Ngerandet ini dilakukan mulai dari hendak turun berladang, membuka lahan, menanam, panen higga menyimpan hasil pertanian padi.
“Jadi mengelola pangan padi semua dikerjakan dengan berandet, tapi kalau secara sendiiri disebut nonok. Nah manfaat berandet atau ngerandet ini adalah sehat secara jasmani dan social, karena kalau sering membantu orang, maka orang lain akan membantu kita. Maka kita wajib membantu walaupun tenaga tidak sebanding namun social harus tetap jalan. Sehingga kesehatan tubuh dan sosial saling beriringan,” ujar Adrianus pada kontributor Kalpatara Kubu Raya.
Kearifan lokal ngerandet telah dilakukan sejak nenek moyang bahkan sebalum nenek moyang terdahulu belum mengenal tulisan. Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu petani tradisional di Desa Sungai Enau, Sifa. Dalam penjelasannya Sifa mengatakan pertanian padi di wilayahnya masih lestari menggunakan konsep kearifan lokal Ngerandet atau berandet.
“Mulai dari nebas, nanam hingga panen dan pasca panen itu kita arandet (Ngerandet) selain merawat budaya juga mempercepat pekerjaan,” jelas Sifa.
Dalam budaya ngerandet terdapat rentetan budaya atau ritual yang harus dilakukan oleh para petani. Diantaranya adalah Baburokng, Ngarake, Rembuk Mele Padi, Nogel, Ngerujak, EAB, Lala Kampukng, Acuruk, Baroah dan Ne Baruakng Dewi Padi.***
Editor : Reza Fahlevi