KALPATARA.ID- Ngertakeun Bumi Lamba adalah tradisi dalam menjalankan pesan yang dititipkan leluhur masyarakat Sunda untuk menjaga gunung sebagai sumber kehidupan.
Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan satu kali dalam setahun setiap bulan Juni atau setiap tanggal 1 kapitu (bulan ketujuh) menurut hitungan kala ider (kalender) Suryakala.
Waktu itu bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali ke bumi bagian selatan dari utara.
Tradisi ini biasanya diadakan di area kawah Gunung Tangkuban Perahu.
Falsafah dan Filosofi Sunda
Berdasarkan falsafah hidup dan aturan dasar adat istiadat, upacara ini merupakan manifestasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan pencipta-Nya. Rajah atau medium tentang pandangan hidup masyarakat Sunda.
Filosofi hidup masyarakat Sunda adalah Mulasara Buana, yang memiliki arti memelihara alam semesta.
Sebagai visi hidup, hal ini terbentuk dari perlunya menjaga keseimbangan alam dari berbagai perilaku yang cenderung mengeksploitasi alam berlebihan.
Bagi masyarakat Sunda, gunung berapi merupakan sumber kehidupan. Sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah guru nu agung atau guru besar.
Menjaga Gunung Sebagai Tempat Suci
Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara menjalankan pesan kasepuhan, yang menitipkan tiga gunung, sebagai paku alam yang harus diperlakukan sebagai tempat suci.
Tiga gunung itu adalah Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede adalah amanat yang harus dijaga sebagai tempat kabuyutan atau tempat suci.
Dimana gunung tersebut merupakan gunung api sisa letusan Gunung Sunda purba 200 tahun lalu.
Tercatat Di Kitab Kerajaan Sunda Galuh
Dalam bahasa Sunda, kata Ngertakeun memiliki arti mensejahterakan atau memakmurkan. Intinya adalah berterima kasih kepada asal muasal keberadaan diri di alam ini.
Kalimat Ngertakeun Bumi Lamba juga tercatat pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada abad ke 16 (1518 M).
Sanghyang Siksakandang Karesian merupakan kitab pada zaman Kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran) yang mengajarkan ilmu tentang kesejahteraan hidup, aturan mengenai kesejahteraan baik negara, manusia dan dunia.
Pada zaman leluhur, Gunung Tangkuban Perahu dipercayai sebagai gunung terbesar, sehingga diagungkan. Dengan pernah meletusnya gunung agung ini, dianggap alam murka.
Kerusakan dan kemusnahan alam cenderung dianggap akibat perbuatan manusia yang berlebihan.
Akibatnya, Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Sanghyang Keresa atau Sanghyang Widhi) bereaksi dengan memusnahkan sebagian alam yang tidak terjaga dengan baik.