Penulis: R. Dandhi Mahendra (Pemerhati Lingkungan Hidup)
It’s time to say: enough.
Enough of brutalizing biodiversity.
Enough of killing ourselves with carbon.
Enough of treating nature like a toilet.
Enough of burning and drilling and mining our way deeper.
We are digging our own graves.
Muncul sebuah harapan besar akan adanya masa depan bumi yang lebih baik tatkala lebih dari 100 pemimpin dunia hadir berkumpul di Rio de Janeiro Earth Summit 1992 guna membahas pemanasan global dan berbagai masalah lingkungan lainnya.
Sebuah harapan akan bumi yang damai sejahtera dan berjaya dimana segala mahluk hidup dapat hidup berdampingan dalam sebuah ekosistem yang ekonomis sekaligus ekologis.
29 tahun telah berlalu terhitung sejak Rio de Janeiro Earth Summit 1992. Harapan telah hilang padam seiring berjalannya waktu. Fakta demi fakta yang muncul justru memperlihatkan sebaliknya.
Ratusan ribu orang telah meninggal karena panas dan bencana cuaca lainnya yang dipicu oleh perubahan iklim.
Triliunan ton es hilang musnah selama periode itu, pembakaran bahan bakar fosil telah memuntahkan miliaran ton emisi gas rumah kaca yang memperangkap panas ke udara.
Pemanasan global telah mencairkan es bumi. Sejak 1992, Bumi telah kehilangan 33 triliun metrik ton es, di Kutub Utara (Arktika) maupun Kutub Selatan (Antartika), menurut perhitungan ahli klimatologi Andrew Shepherd dari University of Leeds.
Penyusutan lapisan es raksasa dan pencairan gletser di Greenland dan Antartika yang terjadi pada musim panas saat ini intensitas pencairannya lebih tinggi dibanding musim panas sebelumnya.
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS, di Alaska, suhu rata-rata telah meningkat 1,4 derajat Celcius (2,5 derajat Fahrenheit). Selama beberapa tahun, rata-rata suhu global tahunan telah meningkat hampir 0,6 derajat Celcius (1,1 derajat Fahrenheit) sejak 1992.
Bumi justru lebih memanas dalam 29 tahun terakhir daripada 110 tahun sebelumnya. Sejak 1992, dunia telah memecahkan rekor suhu tertinggi global tahunan sebanyak delapan kali.
Di seluruh dunia, menurut data kebencanaan dari The International Disaster Database EM-DAT, telah terjadi hampir 8.000 bencana alam akibat perubahan iklim yang menewaskan 563.735 orang.
Angka-angka itu mungkin belum termasuk semua bencana dan kematian yang tidak terdata, kata Debarai Guha-Sapir, pengawas database pada Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, University of Louvain School of Public Health, Brussels.
Dari penelitian medis awal tahun ini yang mengamati 732 kota di seluruh dunia untuk menghitung berapa banyak kematian akibat perubahan iklim akibat panas ekstra, ditemukan bahwa rata-rata sejak tahun 1991, telah terjadi 9.702 kematian akibat pemanasan global per tahun hanya di kota-kota yang diteliti, yang bertambah hingga 281.000 kematian akibat panas akibat iklim sejak tahun 1992.
Menurut Ana Vicedo-Cabrera, seorang ahli epidemiologi di Institute of Social and Preventative Medicine, University of Bern, Swiss; data tersebut hanya sebagian kecil dari apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan menggunakan data-data dari kota-kota yang diteliti tersebut, para peneliti telah mengkalkulasi bahwa selama empat bulan terpanas tahun ini, peningkatan panas dari perubahan iklim bertanggung jawab atas 0,58% kematian dunia.
Itu berarti sekitar 100.000 kematian akibat panas yang disebabkan oleh perubahan iklim per tahun selama 29 tahun.
WHO sendiri mengatakan bahwa angka-angka tersebut sangat masuk akal. Dan atas dasar penghitungan tersebut, diperkirakan jumlah kematian tahunan akibat perubahan iklim akan meningkat menjadi 250.000 per tahun pada 2030-an.
Hal ini terjadi akibat panas yang terperangkap oleh emisi GRK. Tingkat karbon dioksida telah meningkat 17% dari 353 bagian per juta pada September 1992 menjadi 413 pada September 2021, menurut NOAA.
Dari laporan tahunan indeks emisi GRK, NOAA juga telah memetakan enam jenis gas dan mengukurnya sesuai dengan berapa banyak panas yang diperangkap oleh gas-gas tersebut. Ternyata naik hampir 20% sejak 1992.
Dari 1993 hingga 2019, dunia menempatkan lebih dari 803 miliar metrik ton karbon dioksida di udara dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembuatan semen, menurut sekelompok ilmuwan penjejak emisi yang tergabung dalam Global Carbon Project.
Apa yang telah diperlihatkan data-data tersebut selama 29 tahun terakhir nampak berbanding terbalik dengan berbagai konvensi yang dihasilkan dari berbagai konferensi perubahan iklim yang telah dilangsungkan selama 29 tahun belakangan ini.
Tak heran jika banyak kalangan penggiat lingkungan mengungkapkan kekecewaannya terhadap hasil pertemuan COP 26 yang dinilai telah gagal.
Hasil dari COP 26 ternyata tak cukup mampu menjadi ‘energi baru terbarukan’ yang dapat menyalakan kembali harapan yang telah padam.
Tepat apa yang dikatakan oleh Sekretaris jenderal PBB, António Guterres:
Recents climate action announcements might give the impression that we are on track to turn things around.
This is an illusion.
Editor: Mahendra Uttunggadewa