KALPATARA.ID-Prasasti Katiden II ditemukan di Malang. Berisi perintah Raja Wikramawarddhana untuk menjaga alam dan sekaligus memberikan tata cara manajemen lingkungan secara gotong royong.
Prasasti Katiden II ada yang menyebutnya Prasasti Lumpang. Muhamad Yamin pernah menerjemahkan prasasti ini ada dalam catatan bukunya Tatanegara Madjapahit Parwa II (1962) menyebutnya juga dengan nama Prasasti Malang.
Beberapa namanya, tidak menghilangkan pelajaran penting dari teks di prasasti ini. Berikut adalah isi teks prasasti yang dikutip Kalpatara dari buku Peranan Sultan dan Raja dalam Sejarah Konservasi Alam di Indonesia.
Sisi Depan: “Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasama di sebelah timur Gunug Kawi, baik di timur atau di barat batang air, diberitahukan kepada sekalian wedana, juru, bujut, terutama kepada pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuat perintah Sri Paduka Batara Pratama Iswara yang ditanam di Wisnu-bawana dan begitu pula perintah sri paduka yang ditanam di Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negara si parasame Katiden yang meliputi sebelas desa”.
“Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padang alang-alang di lereng Gunung Lejar, supaya jangan terbakar maka haruslah ia dibebaskan dari pembayaran pelbagai titisara. Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutan kekayu dan memungut telur penyu dan gentan, karena larangan itu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun boleh melakukan di sana peraturan larangan berupa apa juga. Apabila keputusan raja ini sudah dibacakan maka Desa Lumpang haruslah menurutinya. Demikianlah diselenggarakan pada bulan pertama pada tahun Saka 1317”.
Dari prasasti ini, diketahui konservasi alam sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di era Majapahit. Beberapa hal yang bisa dicuplik dari prasasti ini untuk manajemen lingkungan hidup adalah:
- Terdapat satuan tata negara parasama yang meliputi 11 desa.
- Upaya pencegahan kebakaran hutan dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar atau terdekat.
- Larangan pada gangguan keanekaragaman hayati
- Bagi mereka yang diberi tugas menjaga hutan, dibebaskan dari pajak dan diberi keluasan untuk melakukan olah hutan dan telur penyu. Khusus hanya penduduk Katiden.
Hal yang terakhir mengingatkan tentang Wilayah Adat. Hingga saat ini, ribuan wilayah adat masih belum diakui oleh pemerintah. Para komunitas adat yang tersisa dan hidup di sekitar hutan beberapa diantaranya masih menghadapi tekanan pembangunan yang semakin mempersempit ruang hidup mereka.
Keputusan Wikramawardhana dalam prasasti ini memperlihatkan kebijakan lingkungan yang tetap memperhatikan dampak sosial. Larangan diberlakukan untuk menjaga kelangsungan sumber air dan keanekaragaman hayati, namun juga memberikan solusi tata kelola lingkungan.
Prasasti ini konon pernah benda koleksi Museum Malang — museum yang kini menjadi Hotel Trio di Celaket Straat Kota Malang ini bubar sekitar tahun 1947, ketika Perang Kemerdekaan/Agresi Militer Belanda II melanda Malang, yang menjadi musabab bagi raibnya sebagian besar benda-benda koleksinya, diantaranya prasasti Katiden ini.***