KALPATARA – Subak atau organisasi pengairan sawah di Bali telah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia dalam bidang culutural landscape sejak 2012 oleh UNESCO. Tepatnya pada 29 Juni 2012 dalam sidang UNESCO ke 36 di St Petersburg, Polandia.
Subak adalah warisan budaya yang mengurusi sistem pengairan sawah di Bali. Lewat Subak berhasil membuat masyarakat Bali mempertahankan sawah yang subur dengan hidup dalam keselarasan simbiosis alam selama lebih dari seribu tahun.
Mengutip dari “History of Subak Indonesia” dijelaskan sejarah sistem irigasi Subak telah dikenal sejak abad ke-9. Kegiatan bercocok tanam padi telah ada di Bali sekitar tahun 882 M. Sesuai dengan ditemukannya arti kata “Huma” yang berarti “sawah” dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1 (Purwita, 1993: 42). Kata “sawah” bisa berarti sawah atau tadah hujan, tetapi bisa juga berarti sawah beririgasi.
D ari literasi lainnya kata “Subak” berasal dari kata “suwak” yang tertulis dalam beberapa prasasti seperti prasasti “Panda Bandung” (1071M), prasasti Banjar Celepil Tojan Klungkung (1072 M), prasasti Pengotan Bangli dan prasati Bwahan Kintamani Bangli.
Subak juga dituturkan dalam manuskrip leluhur masyarakat Bali yang menjelaskan tentang sistem pertanian lengkap nenek moyang berjudul Lontar Dharma Pemaculan.
Dalam bahasa Bali “Subak” artinya sealiran. Sesuai dengan maknanya, air dari sumbernya dialirkan ke dalam sistem irigasi yang mengarah ke sawah para petani.
Bagi masyarakat petani Bali, Subak tak hanya tentang organisasi pengairan sawah. Tetapi juga bagian dari kearifan lokal yang membentuk landscape Bali yang hijau dan potensial sebagai destinasi wisata alam berbasis budaya.
Dalam praktiknya Subak dilakukan berlandaskan pada Tri Hita Karana yang merupakan falsafah Bali kuno yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan harmoni sesama manusia (Pawongan) dan hubungan manusia yang selaras dengan alam (Palemahan).
Kearifan lokal Subak dapat dilihat dari sistem irigasi dan lansekap sawah, sistem pola tanam, dan pengendalian hama lewat ritual.
Sistem irigasi subak dengan landskap sawah berundak-undak yang indah dibuat mengikuti garis kontur. Landskap sawah berundak/reasering mengikuti garis kontur dapat mengendalikan erosi tanah.
Terasering memudahkan dalam pengaturan air irigasi sesuai dengan pola yang disepakati oleh krama subak. Setiap subak mempunyai awigawig pengaturan air yang telah disepakati oleh anggota Subak.
Selain itu landscape berundak menyesuaikan berbagai prosesi ritual adat serta penempatan beragam sajen. Sistem subak memiliki aktivitas ritual yang sangat padat. Kegiatan ritual pada subak, dilaksanakan pada tingkat petani, pura subak dan pura-pura lain yang dianggapkan berkaitan dengan sumber air irigasi subak.
Melalui Subak, masyarakat Bali merefleksikan nilai-nilai dan semangat gotong royong. Subak dilakukan secara bersama-sama oleh para petani pemilik lahan sawah garapan yang merupakan anggota organisasi Subak.
Selain itu Subak juga menuntun karakter masyarakat Bali yang selalu mengedepankan keselarasan dalam hidup berdampingan dengan alam. Menjaga kelestarian alam dengan bijaksana dalam memanfaatkan sumber air untuk kepentingan bersama.
Lebih jauh Subak juga menjadi sarana pembelajaran bidang studi biologi berbasis kearifan lokal budaya. Nilai-nilai karakter baik seperti kebersamaan, gotong royong, dan tanggung jawab yang disebut Seka.***