Penulis: R. Dandhi Mahendra (Pemerhati Lingkungan Hidup)
Peringatan Sumpah Pemuda kali ini ada di tengah situasi dimana kelangsungan hidup manusia di muka bumi sedang dipertaruhkan.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, atas perubahan iklim yang terjadi berdasarkan laporan dari kelompok kerja Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), merasa perlu menyampaikan pesan bahwa situasi global saat ini sedang dalam keadaan ‘code red for humanity.’
Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia telah berpengaruh besar pada keadaan iklim dan cuaca ekstrim yang terjadi di setiap wilayah di seluruh dunia.
Para ilmuwan telah mengamati terjadinya perubahan di seluruh sistem iklim Bumi; di atmosfer, di lautan, di es terapung, dan juga di darat.
Meski perubahan memang sebuah keniscayaan, namun berbagai perubahan yang terjadi saat ini bahkan belum pernah terjadi sebelumnya, seperti halnya kenaikan permukaan laut yang berkelanjutan.
Sesuatu yang sudah ‘tidak dapat diubah kembali’ selama berabad-abad hingga ribuan tahun ke depan.
Sekali lagi, Peringatan Sumpah Pemuda kali ini ada di tengah situasi dimana kelangsungan hidup manusia sedang dipertaruhkan akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Lalu apa relevansinya dengan Sumpah Pemuda?
Sangat relevan!!!
Perhelatan Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang kemudian menghasilkan putusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Putusan dengan berbagai konsiderannya dituangkan dalam sebuah Piagam yang berjudul ‘POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA.’
Suatu putusan yang menjadi dasar dari kontrak sosial dari sekumpulan manusia yang berhimpun dan hidup bersama dalam kesamaan bahasa kultural yang terpikul dan dipikul oleh naturnya dalam dimensi ruang keindonesiaan.
Ruang keindonesiaan yang muncul sebagai sebuah peradaban atas dasar kemauan bersama untuk merdeka dari penindasan dan keterjajahan, kesamaan sejarah sebagai kaum terjajah, sikap gotong royong sebagai sebuah bahasa kultural yang terumuskan dalam hukum adat dan diwariskan secara universal dari generasi ke generasi melalui pendidikan dan kepanduan yang bersemangat kemanusiaan.
Suatu falsafah yang muncul dari sebuah kesadaran yang memahami tentang bagaimana menjalani hidup yang bukan sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup, namun juga hidup untuk memelihara kehidupan itu sendiri.
Hidup yang menghidupi, itulah kemerdekaan sejati yang seimbang –balance– dan setimbang –equilibrium-.
Arne Dekke Eide Næss (27 Januari 1912 – 12 Januari 2009), seorang filsuf Norwegia yang juga seorang tokoh intelektual dan inspirasional penting dalam gerakan lingkungan pada akhir abad kedua puluh, menggambarkannya sebagai ecosophy, deep ecology movement,
“By an ecosophy I mean a philosophy of ecological harmony or equilibrium. A philosophy as a kind of sofia (or) wisdom, is openly normative, it contains both norms, rules, postulates, value priority announcements and hypotheses concerning the state of affairs in our universe. Wisdom is policy wisdom, prescription, not only scientific description and prediction. The details of an ecosophy will show many variations due to significant differences concerning not only the ‘facts’ of pollution, resources, population, etc. but also value priorities.” (A. Drengson and Y. Inoue, 1995, page 8.)
Sayangnya, ecosophy yang secara etimologis berasal dari gabungan kata Yunani (oikos) yang berarti rumah dan (sofia) yang berarti pengetahuan atau kebijaksanaan, oleh Næss, lebih condong ditarik menjadi bagian -kalaupun tidak bisa dibilang cabang- dari ekologi sehingga seringkali disebut sebagai deep ecology movement.
Padahal, sebagai sofia yang filosofis, mestinya ekosofi diletakkan pada posisi yang lebih paripurna ketimbang ekologi yang ‘hanya’ sekedar logos. Lebih dari itu, ekosofi (oikos sofia) justru mampu menjadi fondasi yang mampu menjembatani ‘konflik’ kepentingan antara oikos nomos (ekonomi) versus oikos logos (ekologi).
Bahkan ekosofi mampu menyinergikan, mendialektikakan, sekaligus mengharmonisasikan ekonomi dan ekologi dengan seimbang (balance) dan setimbang (equilibrium) seperti layaknya sekeping uang dengan dua sisi yang menyatu sekalipun selalu bertolak belakang.
Sekeping uang akan kehilangan nilai tukarnya ketika satu sisinya hilang.
Ibarat otak manusia, ekosofi merupakan gabungan dari hypothalamus, pineal gland, pituitary gland, amigdala dan hippocampus yang berada di pusat otak yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk menyeimbangkan dan menyetimbangkan ekonomi yang merepresentasikan kerja otak kiri dengan ekologi yang merepresentasikan kerja otak kanan.
Pada konteks itu, secara lebih bernas, Piagam Soempah Pemoeda sesungguhnya justru jauh lebih paripurna dalam menggambarkan apa yang disebut dengan ekosofi.
Putusan “bertumpah darah yang satu”, Indonesia, bukan hanya sekedar klaim kewilayahan atas sebuah kawasan, melainkan lebih dari itu merupakan sebuah manifesto peradaban dari bagaimana mereka yang mengaku berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya di wilayah Indonesia dengan tata kelola ekonomi berbasis ekologi sesuai hukum adat yang berlaku di setiap kewilayahan adat dengan berdaulat dan bermartabat.
Sumpah Pemuda dengan cerdas mampu memformulasikan dengan seimbang (balance) dan setimbang (equilibrium) antara sudut pandang ekonomi sebagai sebuah proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia, di satu sisi, dengan sudut pandang ekologi sebagai sebuah proses pola interaksi antara manusia dengan alam yang saling hidup menghidupi, di sisi yang lain, tanpa harus membenturkannya secara diametral untuk sekedar jadi komoditi politik demi kepentingan kekuasaan.
Mengimani Piagam Putusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia secara “kaffah” dalam konteks keindonesiaan merupakan sebuah kunci jawaban atas situasi global yang saat ini sedang dalam keadaan ‘code red for humanity.’
Semoga Peringatan Sumpah Pemuda kali ini bisa jadi momentum kebangkitan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021.
Editor: Mahendra Uttunggadewa