KALPATARA.ID- Talukung adalah lumbung padi masyarakat Desa Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Talukung ini digunakan sebagai tempat gabah hasil panen untuk kebutuhan konsumsi sampai masa panen selanjutnya termasuk ketersediaan untuk antisipasi ketika terjadi gagal panen.
Di Desa Seko, panen padi hanya sekali dalam setahun, dengan jenis padi khas yang disebut dengan tarone. Jenis padi ini hanya ada di wilayah Seko, yang dibudidayakan dari zaman nenek moyang mereka dan bertahan hingga saat ini, termasuk juga talukung.
Jika dihitung dari proses penyiapan bibit sampai panen, butuh waktu sekitar 8 bulan dengan rincian 2 bulan untuk persiapan benih, persemaian dan pengolahan lahan dan 6 bulan untuk penanaman sampai panen tiba.
Rata-rata masyarakat Desa Seko bermata pencaharian sebagai petani padi, cokelat dan kopi. Sehingga hampir di setiap rumah masyarakat terdapat Talukung. Baik yang dibangun terpisah dari bangunan rumah maupun yang disimpan di bawah kolong rumah panggung.
Tradisi Masyarakat Seko Menyimpan Hasil Panen
Kebiasaan menyimpan hasil panen ini merupakan bentuk ketahanan pangan, tempat mereka menyimpan padi dan menjaga kecukupan pangan sampai masa panen selanjutnya.
Semua gabah yang telah dipanen dimasukkan ke dalam karung dan dimasukkan ke dalam talukung. Sebagian akan dikeluarkan untuk dijual, sisanya disimpan untuk kebutuhan pangan sampai panen selanjutnya.
Dari segi penempatan, talukung dibangun di samping, depan atau dibelakang rumah. Penempatannya terpisah dari bangunan rumah bertujuan untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran rumah, gabah tidak ikut terbakar.
Atau dibangun di dekat sawah, tujuannya agar memudahkan mereka menyimpan ketika panen telah selesai.
Talukung, Lumbung Pangan Ramah Lingkungan
Talukung dibangun dengan bahan dasar pohon banga (pigafetta elata) atau masyarakat Seko menyebut pohon jenis ini sebagai salihua.
Pohon banga mudah dijumpai di kebun masyarakat atau di hutan yang jaraknya masih dekat dari perkampungan. Pohon ini juga sengaja dipelihara, selain menjadi bahan utama untuk membangun talukung, tunas muda pohon banga menjadi bahan sayur yang menjadi sayur wajib setiap acara syukuran panen.
Jika mereka butuh gabah, mereka akan datang mengambil dan membawa pulang untuk persediaan sebulan lebih. Jarak antara rumah dan talukung yang berada di dekat sawah tak menjadi masalah, karena hampir setiap hari mereka datang ke sawah.
Hampir semua rumah tangga memiliki talukung sebagai lumbung padi, yang membedakan hanya penempatan, ukuran dan bentuk. Kebanyakan masih berbentuk lingkaran mirip seperti tandon penyimpan air.
Talukung yang berbentuk lingkaran biasanya berusia puluhan tahun, bahkan masih warisan keluarga. Sementara talukung berbentuk persegi adalah model baru yang sengaja dimodifikasi agar bisa menampung gabah jauh lebih banyak. Pintu samping ditambahkan agar memudahkan saat mengambil gabah dari dalam talukung.
Proses Pembuatan Talukung
Untuk membuat Talukung, biasanya dibutuhkan pohon banga yang berusia minimal 7 tahun, yang dapat menghasilkan 7 sampai 9 potong.
Hanya membutuhkan waktu sehari dan tidak terlalu rumit. Yang perlu dilakukan adalah menjahit potongan-potongan banga dengan rotan hingga berbentuk lingkaran.
Setelah itu, dibagian bawah dan atasnya diberi anyaman bambu agar bentuknya kokoh. Di bagian samping, dibuat pijakan yang terbuat dari kayu seukuran lengan yang berfungsi menjadi pijakan saat akan memasukkan atau mengambil gabah.
Untuk membuatnya, pertama-tama, pohon banga ditebang dengan kapak atau mesin pemotong kayu. Setelah itu, pohon dipotong disesuaikan dengan ukuran yang akan dibuat.
Kulit dan bagian isi pohon dipisahkan. Ada dua acara untuk memisahkannya, Pertama dengan menggunakan tembilang untuk menggaruk bagian dalam hingga terpisah antara isi dan kulitnya. Kedua, mengiris bagian kulit hingga terpisah dengan isinya dengan parang yang tajam. Kulit harus benar-benar bersih, agar tak mudah lapuk.
Kulit luar banga dipukul-pukul dengan punggung kapak agar mudah mengeluarkan isinya. Ketika dipukul-pukul, kulit banga bisa menjadi lebih lunak dan berongga hingga mudah dibentuk. Rongga ini menjadi sirkulasi udara sehingga gabah bisa bertahan lama.
Kulit yang sudah terpisah diregangkan, dijepit dengan bambu agar bentuknya bisa rata serupa papan. Proses selanjutnya menjemur kulit banga selama seminggu agar kering. Setelah itu, kulit ini bisa digunakan untuk membuat talukung.
Ukuran talukung disesuikan dengan luas lahan dan jumlah panen. Ukuran besar bisa menampung hingga seratus karung gabah dan yang terkecil bisa menampung 60 karung gabah.
Talukung merupakan kearifan lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan masyarakat desa Seko, yang keberadaannya masih terawat hingga saat ini.***