KALPATARA.ID– Tradisi Nyobeng pada masa lalu dilaksanakan sebagai ritus sakral menyucikan hasil mengayau (memenggal kepala musuh perang), kini ritus ini tetap disakralkan sebagai peringatan perdamaian dan ucap syukur.
Nyobeng yaitu berasal dari kata Nibakng yang merupakan ritual adat ucapan syukur atas panen berlimpah dan juga ritual memandikan kepala hasil ngayau (memotong kepala musuh) dulu.
Di dalam adat Dayak Bidayuh, mengayau dalam perang adalah tindakan kehormatan. Baik pada dirinya sendiri sebagai ksatria juga penghormatan kepada musuh yang telah ditaklukan. Karena kepala-kepala tersebut akan tetap dihormati oleh suku pemenang.
Dulunya, penghormatan hasil mengayau ini dimulai dengan adat Nabuai, penyambutan bagi mereka yang melakukan tugas mengayau. Setelah itu kepala-kepala hasil mengayau akan disimpan di atas bambu yang ada di sebelah Baluk (rumah adat). Kemudian masyarakat yang ditunjuk sebagai pejuang akan memanjat bambu dengan posisi terbalik, untuk menunjukkan kekuatan mereka.
Setelah itu, kepala akan disimpan di kotak kayu dan diletakkan di atas bumbung Baluk. Kepala ini diyakini akan menjadi penjaga kampung serta harus dimandikan dan diberi sesaji sebagai bentuk penghormatan.
Tahun-tahun berikutnya, dilaksanakan Nyobeng yang dilakukan dengan upacara memandikan tengkorak manusia untuk keselamatan kampung dari bencana maupun malapetaka yang akan datang dilaksanakan pada malam hari.
Kini, upacara Nyobeng dilakukan secara rutin selama 3 hari pada 15-17 Juni. Diawali dengan membuka kembali Rumah Adat Baluk pada 13 Juni.
Upacara Nyobeng, meski tidak lagi melibatkan kegiatan mengayau, tetap dilaksanakan sebagai tradisi sakral. Dulu kental sekali beraroma perang. Kini, dengan terbentuknya persaudaran melalui Gawai Dayak Bidayuh, yang terjalin antara suku Dayak Indonesia dengan Malaysia, tradisi Nyobeng dilaksanakan juga sebagai simbol perdamaian dan perayaan panen.
Transformasi Nyobeng Tidak Hilangkan Kesakralan
Satu pekan sebelum upacara Nyobeng dimulai, suku Dayak Bidayuh menyiapkan ritual dengan beberapa pantangan, seperti: dilarang bekerja di ladang, dilarang berkelahi, dilarang berkata kotor dan dilarang menjemur pakaian pada malam hari.
Pembukaan rumah adat dilaksanakan dengan sesaji yang wajib ada, yaitu sirih, gambir, kapur, pinang, tuak, daun jeruk dan bawang kucai sebagai pewanginya.
Upacara Nyobeng diawali dengan ritual Paduapm, pemanggilan Roh dilakukan pagi hari sebelum matahari terbit dan dilaksanakan di rumah adat Baluk. Upacara Pemanggilan Roh diringi dengan pemukulan beduk yang disebut dengan Sibakng.
Meneruskan tradisi, Nabuai yang dulunya dilakukan untuk penyambutan para ksatria dari mengayau, kini dilakukan sebagai penyambutan pada tamu dan kemudian dilakukan ritual khas Dayak Bidayuh yang mengikuti tradisi seperti leluhur mereka dahulu.
Hari kedua perayaan Nyobeng diisi dengan olah raga tradisional panjat pinang terbalik, masih mengikuti tradisi nenek moyang mereka untuk menunjukkan kekuatan.
Hari ketiga, diisi dengan adat Balik Layar yang mengembalikan ruh ruh leluhur (Tipaiykng) yang dipanggil untuk mengiringi rangkaian Nyobeng kembali ke tempatnya.
Meskipun secara mengalami transformasi, tradisi Nyobeng tidak lantas kehilangan kesakralan. Beberapa ritual tetap dipertahankan, termasuk berbagai sarana upacara pun tidak berubah. Tranformasi terbentuk karena kesadaran akan pemaknaan baru pada aktivitas perang dan mengayau. Ikatan sosial yang terjalin membuat Nyobeng memiliki makna baru, namun tidak menghilangkan sakralitasnya.***