KALPATARA.ID-Masyarakat Nusa Utara yang mendiami Sulawesi Utara bagian Utara melaksanakan tradisi sakral yang diturunkan dari leluhur mereka sejak berabad-abad lalu, disebut sebagai Tulude sebagai momentum pergantian waktu.
Kepulauan Nusa Utara adalah sebutan untuk gugusan kepulauan-kepulauan yang terdiri dari Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di Sulawesi Utara. Di wilayah ini, tiap tanggal 31 Januari dilaksanakan upacara Tulude atau Mandullu’u Tonna.
Tulude dalam bahasa Sangihe berasal dari kata suhude yang berati tolak. Sedangkan Mandullu ‘u’tonna dalam arti sempit kalau bahasa masyarakat Talaud, Mandulu’u berasal dari kata lanttu yang artinya menolak atau meninggalkan, sedangkan tonna berarti tahun.
Tulude pada hakekatnya dilaksanakan sebagai bentuk syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) selama setahun yang telah berlalu. Tradisi ini tetap bertahan hingga sekarang dan tetap diperingati sebagai momen mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas berkat yang diberikan, baik dalam bidang kelautan dan perikanan, maupun pertanian, dan sebagainya.
Penetapan waktu 31 Januari sebagai pelaksanaan Tulude mengandung banyak versi keterangan. Beberapa informasi menyebutkan sebenarnya tradisi Tulude dilaksanakan leluhur setiap 31 Desember. Informasi dari laman Warisan Budaya Tak Benda juga menyampaikan bahwa Tulude dilaksanakan pada 31 Desember.
Pada abad 19, dengan masuknya agama Kristen membuat waktu Desember disibukkan oleh Natal, sehingga dengan kesepatakan masyarakat adat maka Tulude dipindahkan ke 31 Januari.
Yang menarik, tulisan dari Jimmy Carter Nicodemus, Jenny Nelly Matheosz, Jetty E. T. Matheosz di Jurnal Holistik terbitan April – Juni 2023 menyebutkan tradisi Tulude juga terkait peristiwa astronomi, dengan mengikuti penanda bintang fajar. Kata Tulude ternyata juga mengacu pada posisi bintang fajar (Kadademahe) yang tegak lurus 90 derajat, diyakini terjadi tepat pada pukul 00.00 tanggal 31 Januari setiap tahun.
Meskipun terdapat beberapa keterangan, namun sekarang tanggal 31 Januari telah ditetapkan sebagai peringatan Hari Ulang Tahun Kab. Kepulauan Sangihe.
Terdapat perbedaan dalam tata dan urutan ritual di beberapa wilayah. Seperti di Wanguer Barat, ritual dimulai dengan memangsale, berupa pemberitahuan kepada masyarakat atau pemerintah setempat tentang pelaksanaan Tulude. Uniknya, dalam praktik masyarakat adat, memangsale dilakukan dengan membunyikan tagonggong padadini hari tanggal 31 Januari.
Ada juga keterangan yang menyatakan bahwa dua minggu sebelum acara dihelat, tetua adat menyelam ke dalam lorong bawah laut yang berada di Gunung Banua Wuhu. Tetua adat memberikan sesembahan kepada Banua Wuhu berupa sepiring nasi putih dan emas. Usai ritual menyelam, rangkaian acara dimulai dengan diawali pembuatan kue adat Tamo di rumah tetua adat sehari sebelum pelaksanaan upacara.
Di kepulauan Talaud, dalam tulisan Nova Ester Manurat, Antonius Boham, Stefi H.Harilama, yang dimuat dalam e-jurnal Acta Diurnal Volume IV tahun 2015 mengisahkan masyarakat saling bahu membahu untuk membangun tenda tradisional dengan bahan bambu, dan rumbia atau daun katu.
Tenda tradisional tersebut berukuran 35 x 15 meter dan panggung utama berukuran 5 x 8 meter dan menghabiskan 6000-an daun katu untuk atapnya, dimana setiap kepala keluarga (KK) diharuskan menyediakan sebanyak 20 lembar daun katu dikalikan dengan 300 kepala keluarga.
Meskipun terdapat beberapa tata cara dan urutan yang berbeda, Tulude mengandung niat dan semangat kebersamaan dan kebersyukuran yang sama serti mengisi penyambutan awal tahun dengan berdoa, bukan berpesta.***