KALPATARA.ID – Prasasti Mantring A yang saat ini tersimpan di Pure Puseh Desa Mantring Gianyar mengandung uraian penting bagi sejarah Desa Tulikup. Berdasarkan penanggalan di prasasti ini diketahui resmi hari jadi desa Tulikup.
Penanggalan di Prasasti Mantring cukup lengkap, tertera di satu lempeng tembaga dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Aji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana, seorang raja dari Wangsa Marwadewa, Kerajaan Bedahulu.
Penanggalan dalam Prasasti Mantring berbunyi:
Pada tahun 1099 Çaka bulan Posya/Poṣa, hari ketiga belas Kṛṣṇapakṣa), Wurukung, Umanis, Buda, Wuku Prangbakat.
Isi prasasti mengenai penyelesain konflik yang terjadi di antara masyarakat Desa Karaman I Katulikup dalam kaitan dengan permasalahan pembayaran pajak. Berdasarkan penelusuran Tim Penelusuran Sejarah Desa Tulikup dan didukung sebuah buku berjudul Sejarah Nasional Indonesia Jilid III karya Marwati Joned Poesponegoro dan Notosusanto terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1993.
Pada halaman 306 buku tersebut, dalam pembahasan pemerintahan kerajaan Maharaja Jayapangus di Bali dengan jelas mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Karaman I Katulikup adalah segenap masyarakat Desa Tulikup yang terletak di dekat Kota Gianyar.
Penanggalan serta isi prasasti Mantring menjadi petunjuk terang Tim Penelusuran Sejarah Desa Tulikup menentukan hari jadi desa. Jika dikonversikan ke dalam kalender masehi, penanggalan di Prasasti Mantring adalah 18 Januari 1178.
Bulan Posya adalah sebutan untuk Sasih Kanem yang jatuh berkisar pada Januari. Hari ketiga belas Krsnapaksa menandakan hari paruh gelap, antara purnama ke bulan baru. Wurukung, Umanis dan Buda merupakan perhitungan hari berdasarkan Sadwara, Pancawara dan Saptawara, sedangkan Wuku Prangkabakat menunjukkan bahwa Penanggalan Pawukon sudah dikenal pada era ini. Wuku Prangbakat adalah wuku ke 24 dari 30 wuku di Penanggalan Pawukon.
Temuan ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan prasasti Hari Jadi Desa Tulikup, oleh Bupati Gianyar, A A Gde Agung Bharata di Wantilan Pura Penataran Agung Pinatih, Desa Tulikup pada tahun 2018.
Sri Maharaja Aji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana dalam catatan sejarah diketahui sebagai raja terakhir dari Wangsa Marwadewa. Memerintah pada 1177-11484. Dari data ini, Prasasti Mantring dibuat saat awal pemerintahan Jayapangus.
Jayapangus dikenal sebagai penyelamat negara karena mengajak rakyatnya kembali melakukan upacara agama sehingga mendapat wahyu yang kemudian dikenal sebagai Hari Raya Galungan. Saat masa pemerintahannya keamanan Bali terjamin dan ajaran agama berkembang dengan pesat.
Selama pemerintahannya, Jayapangus mengeluarkan 43 prasasti dalam waktu tiga tahun awal. Dalam prasasti diketahui, Jayapangus mempertahankan kohesitas masyarakat dan menyelesaikan konflik dengan memperhatikan pendapat dan perbedaan masing-masing.
Dari prasasti yang dikeluarkan Jayapangus, diketahui pada saat itu, kerajaan memiliki kitab-kitab hukum yang berlaku, yaitu kitab hukum Manawakamandaka, Manawakamandaka Dharmasastra, dan Manawaśasanadharma.***