KALPATARA.ID– Wuku Watugunung adalah wuku ke 30, sekaligus wuku terakhir dalam satu siklus Penanggalan Pawukon. Mengambil nama Prabu Watugunung yang menjadi tokoh sentral kisah Pawukon.
Prabu Watugunung konon diceritakan sebagai seorang raja dari kerajaan Gilingwesi, yang memiliki dua orang istri: Dewi Sinta dan Dewi Landep. Prabu Watugunung memiliki 27 anak dan dari keluarga inilah digunakan menjadi nama-nama wuku di Penanggalan Pawukon.
Wuku pertama diawali dengan Sinta dan ditutup dengan Watugunung. Siklus wuku berjumlah 30 hari dan setiap wuku mengambil ruang waktu selama 7 hari. Jadi dalam satu siklus wuku terdapat 210 hari.
Sama seperti wuku yang lain, kelahiran wuku Watugunung juga membawa karakter lahir. Sesuai dengan perwatakan dan karakter yang dibawa oleh wuku, setiap wuku memiliki Batara atau Dewa pelindung dan karakternya tak berbeda dari karakter bawaan dari pelindungnya.
Kelahiran wuku Watugunung dilindungi oleh Batara Anantaboga. Dalam pewayangan Batara Anantaboga adalah raja ular yang hidup di dasar bumi. Perwujudannya adalah naga dengan mahkota dan memakai badhong berambut dan memakai busana (biasanya berwarna merah) serta mengenakan kalung emas.
Di kalangan tokoh pewayangan, Anantaboga termasuk tokoh yang memiliki tingkatan tinggi. Disebut juga sebagai Sang Hyang Anantaboga, dan menjadi salah satu tokoh mitlogi penciptaan dunia.
Nama Ananta yang disandangnya memiliki arti tak terbatas. Menjadi satu petunjuk tentang keluasan tokoh ini dalam ruang dan waktu yang tak terbatas.
Karakter kelahiran wuku Watugunung menonjol pada hal-hal yang spiritual. Doanya adalah doa yang manjur. Dan ia senang mendoakan orang lain untuk memperoleh kebahagiaan.
Kelahiran wuku Watugunung menyukai tempat yang sunyi dan tenang, karena disana ia bisa kerap berkontemplasi untuk menuju ke kedalaman batin.
Di depan banyak orang, ia lebih banyak diam, bahkan cenderung pemalu. Meskipun memiliki banyak pengetahuan, karakternya bukan menonjolkan diri. Hal ini ibarat Sang Hyang Anantaboga yang tinggal di kedalaman bumi.
Ia selalu berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah dan memilih keputusan dengan sangat hati-hati.
Di dalam hatinya seringkali muncul berbagai gejolak yang merupakan sebuah konflik batin, antara hatinya yang peka dan mudah tersinggung dengan pemalunya yang besar, sehingga tak mudah mengungkapkan apa yang ia rasakan sebenarnya.
Meskipun pendiam, sebenarnya kelahiran wuku Watugunung memiliki cita-cita yang tinggi. Ia akan berusaha mewujudkan cita-citanya melalui proses yang senyap, namun tekun.
Di dalam kitab Pawukon, digambarkan Prabu Watugunung datang menghadap Sang Hyang Anantaboga dan Nagagini. Kedua tokoh ini adalah keluarga. Nagagini adalah putri Sang Hyang Anantaboga.
Dewi Nagagini digambarkan memiliki sifat yang setia, sangat berbakti, cinta terhadap sesama makhluk dan suka menolong.
Hal ini merupakan simbol kelahiran wuku Watugunung memiliki sift-sifat dasar dari kedua tokoh tersebut, Sang Hyang Anantaboga dan Dewi Nagagini.
Gambar candi yang nampak jelas merupakan simbol kelahiran wuku Watugunung senang melakukan puja samadi, meditasi dengan laku seperti pandita.
Simbol pohonnya adalah pohon Wijayakusuma, merupakan penggambaran bagus parasnya, tetapi tidak senang bergaul dengan orang banyak.
Simbol burungnya adalah burung gogik, atau kita juga mengenalnya sebagai burung rangkong. Di dalam kebudayaan Dayak, burung rangkong memiliki posisi yang tinggi. Merupakan representasi dan keilahian.
Secara sifat dan karakter, burung gogik di dalam wuku Watugunung digambarkan sebagai burung yang tak menyukai keramaian dan tidak senang tampil di depan orang banyak.
Keris yang cocok untuk wuku Watugunung adalah Pandhawa, Carangsoka, Sabuk Tampar dan Sabuk Inten.***