Dedi menambahkan, selama ini uang dari homestay dihabiskan di pasar-pasar di Waisai untuk membeli banyak keperluan. Belum lagi soal bahan bakar menuju Waisai. Akan menjadi lebih efisien jika kebutuhan tamu-tamu homestay bisa didapatkan dari kampung ini saja.
“Ibu-ibu bisa berkebun sayur, yang nelayan bisa tetap mencari ikan, kasih ke kita, atur harga, kita bisa beli,” ujarnya.
Membangun untuk Lokal, Tantangan Muncul dari Lokal
Hingga tahun 2024, Lumba-Lumba Homestay sudah berkembang menjadi 7 hunian. Awalnya di Pulau Ransiwor, sekarang berpindah ke kampung Yenbuba, Distrik Meosmansar. Awalnya homestay berkonsep sharing bathroom. Sejak pandemi dan masukan dari pengunjung, Dedi mengubah bangunannya dengan private bathroom untuk masing-masing hunian.
Dedi mengaku, untuk membangun homestay pun mengambil bahan dari luar pulau. Bentuk bangunan homestaynya berupaya meniru bangunan asli orang-orang Raja Ampat, tetapi tidak bisa seluruhnya karena perlu ada penyesuaian. Daun bobo (nipah) dan rumbia tetap dipertahankan sebagai kekhasan bangunan.
Ketika ditanya tentang tantangan selama ini, Dedi mengatakan, “Masyarakat belum ada yang memiliki kesadaran akan ekonomi sirkular. Ketika saya bangun homestay, semuanya ikut bangun. Lalu, siapa yang akan penuhi kebutuhannya? Akibatnya yang terjadi adalah persaingan. Padahal kita bisa sama-sama bangun ekonomi di sini, dari peran masing-masing.”
Menurut Dedi, kita perlu orang-orang yang bisa memimpin di Raja Ampat ini untuk memberikan kesadaran pada masyarakat tentang konsep ekonomi sirkular. Masyarakat hanya perlu dibimbing dan didampingi untuk bersama-sama membangun pariwisata. Bagi Dedi, pembangun pariwisata Raja Ampat selama ini dilakukan oleh masyarakat sendiri, pemerintah belum hadir dalam mengurai pariwisata yang bisa memberikan konsep berkelanjutan.
“Jangan sampai Raja Ampat jadi kalah sama Kaimana, yang sekarang juga mulai bergerak untuk pariwisata,” tegasnya.
Persoalan Sampah, Solusi Masih Mentah
Persoalan penting yang diamati Dedi bagi kepulauan Raja Ampat ini adalah soal sampah. Sebagai orang yang dididik oleh konsep-konsep konservasi, Dedi miris dengan pengelolaan sampah. Dedi menyampaikan, jika tamu sudah semakin ramai, sampah akan menggunung, terutama sampah plastik. Pengunjung juga banyak yang mengeluh karena sampah sampai ke laut. Karang juga pernah bocor dan berisi sampah.
Sampai saat ini, Dedi menilai, pemerintah tidak serius memikirkan soal sampah. “Selama ini kita harus bakar sampah, akibatnya, pohon-pohon jadi kena, udara jadi tercemar dan kita juga jadi terganggu,” keluhnya.
“Kami ini kan hanya pelaku pariwisata kecil, hal-hal lain yang mendukung dan konsep penataannya seharusnya jadi tugas pemerintah,”pungkasnya.
Dedi Mayor, dalam perjuangannya di awal memunculkan sebuah konsep homestay lokal yang berkelanjutan, kini telah diakui oleh tamu-tamu mancanegara. Sekarang, apa yang dilakukan Dedi telah menumbuhkan sekitar 200 homestay di wilayah Raja Ampat yang dikelola oleh masyarakat lokal. Tapi nilai-nilai keberlanjutan lingkungan yang bersanding dengan pembangunan pariwisata Raja Ampat masih jauh panggang dari api.***