KALPATARA.ID/NUSANTARACODE- Bertepatan dengan momentum Hari Tani Nasional yang ke 63, Serikat Petani Indonesia Kabupaen Indramayu menggelar aksi massa di jalanan kota kabupaten.
September adalah bulan perjuangan petani, ditandai dengan ditetapkannya Hari Tani Nasional pada 24 September 1960 oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden RI Nomor 169 Tahun 1963.
Penetapan 24 September sebagai Hari Tani Nasional karena bertepatan dengan disahkannya Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dadar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
UUPA 1960 menjadi tonggak semangat pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Reforma agraria merupakan suatu perombakan dan penataan ulang ketimpangan kepemilikan tanah agar lebih berkeadilan dengan memastikan tanah untuk petani gurem, rakyat tak bertanah, dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Momentum Hari Tani Nasional sejatinya sekaligus menjadi momentum perjuangan rakyat yang bekerja di pedesaan.
Pasalnya konsentrasi jumlah penduduk miskin berada di pedesaan dengan jumlah 14,16 juta orang, sedangkan di perkotaan 11,74 juta orang.
Pedesaan merupakan lokasi di mana banyak pertanian dilakukan. Artinya jika ditarik garis secara simultan, orang-orang yang bekerja di pedesaan seperti petani, nelayan, pedagang kecil, kuli bangunan, kuli gendong dan lainya hidup diambang garis kemiskinan.
Merujuk pada Sensus Pertanian Tahun 2013, terdapat 26,14 juta rumah tangga petani di Indonesia. Mirisnya, lebih dari setengahnya (56, 12%) adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar.
Menjadi logis ketika petani gurem dengan penguasaan lahan dari 0-0, 5 hektar hidup dalam ambang ketidaksejahteraan terkonsentrasi di pedesaan.
Ketidaksejahteraan keluarga petani menjadi pertanda jelas bahwa petani telah ditikam dari banyak sudut. Sejak alat produksi hingga proses distribusi. Dari mengolah tanah sampai pemasaran hasil panen yang melimpah.
Guremisasi petani dari hulu ke hilir telah tejadi berpuluh-puluh tahun. Dimulai dari pencabutan hak atas tanahnya, kemudian dihilangkan pengetahuan budidaya pertanian alaminya, dan ketika panen tiba petani dihadapkan pada cukong-cukong nasional hingga internasional.
Bagaimana kemiskinan dapat terurai di pedesaan ketika petani terus-terusan diguremisasi.
Tri Utomo, Ketua Serikat Tani Indramayu menyampaikan, “Pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak maksimal bekerja untuk mewujudkan kedaulatan pangan melainkan terus menggeser pada sekadar ketahanan pangan.’
Apabila harga beras naik, minyak goreng langka dan banyak kasus permainan harga hasil bumi selalu menyisakan ketidakuntungan ditingkat petani.
Tuntutan yang disuarakan oleh petani Indramayu adalah para penegak hukum, pemangku kebijakan Kabupaten Indramayu tidak berlaku diskriminatif terhadap petani SPI yang sedang berjuang mewujudkan reforma agraria dan kedaulatan pangan.
Selain itu mereka juga menuntut Bupati untuk segera mengevaluasi kinerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan selesaikan segera konflik-konflik agraria di Indramayu yang selalu meninggalkan korban di pihak petani.
“Kami berkeyakinan kedaulatan pangan tidak akan terwujud tanpa keadilan reforma agraria sejati,” pungkas Tri Utomo.***