KALPATARA.ID-Indonesia, dengan posisi astronomi dan geografis, menghadapi iklim dengan tiga pola hujan, yaitu monsun, ekuatorial dan lokal. Dari ketiganya, yang memiliki dampak mendunia adalah iklim monsun.
Iklim monsun berkaitan dengan pola musim hujan. Secara sederhana, monsun adalah perubahan angin musiman yang disertai dengan perubahan curah hujan.
Sistem monsun utama di dunia terdiri dari monsun Afrika Barat, Asia-Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Indonesia mengalami secara langsung monsun Asia-Australia.
Monsun berasal bahasa Portugis monção dari kata asli Arab mawsim, yang berarti “musim/perubahan arah angin”. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai angin muson.
Bagi kita yang hidup di iklim tropis pasti mengetahui bahwa kita memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau, dan juga angin pasat. Iklim dan angin pasat ini beredar di daerah antara titik tropikal Cancer dan Capricorn, dari 23°LU hingga 23°C selatan, dimana Indonesia berada di tengah-tengah kedua titik ini. Jadi musim hujan dan kemarau yang terkait dengan perubahan arah angin tidak hanya terjadi di Asia.
Pada musim hujan, angin muson bertiup dari Asia menuju Australia, disebut juga di Indonesia sebagai Angin Barat. Hal ini mengantarkan lebih banyak uap air yang kemudian berubah menjadi curah hujan di wilayah Indonesia. Musim hujan di Indonesia umumnya terjadi pada bulan Oktober hingga Maret. Sedangkan pada musim kemarau, angin muson yang uap airnya lebih sedikit bertiup dari Australia hingga Asia disebut juga di Indonesia sebagai Angin Timur.
Dampak positif dari monsun dari Asia ini bagi Indonesia antara lain tanaman menjadi lebih hijau dan subur, polusi udara berkurang, risiko kebakaran hutan berkurang, dan air buatan untuk mengairi sawah menjadi tidak diperlukan lagi. Namun dampak negatifnya antara lain meningkatnya kejadian penyakit demam berdarah, meningkatnya risiko banjir dan tanah longsor, serta terganggunya pelayaran laut para nelayan.
Sedangkan dampak positif dari muson dari Australia menyebabkan para nelayan dapat melaut dengan tenang, petani dapat memanen dengan tenang, dan tentunya pakaian cepat kering. Di sisi lain, angin ini menyebabkan banyak tanaman mengering dan akhirnya mati jika kekurangan air. Hal ini juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan mempersulit masyarakat mendapatkan air bersih.
Variabilitas curah hujan juga didorong oleh ITCZ. ITCZ (Intertropis Zona Konvergensi) adalah suatu wilayah di mana dua massa udara dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan berkumpul di daerah bertekanan rendah yang memanjang dari barat ke timur dekat jalur tropis.
Posisinya berubah mengikuti pergerakan semu matahari ke utara dan selatan garis khatulistiwa. Secara umum wilayah Indonesia yang dilewati oleh ITCZ mempunyai potensi tumbuhnya awan hujan.
Dengan mengetahui musim dari perubahan arah angin ini, kita jadi tahu kapan aktivitas bertani, melaut dan juga aktivitas lain yang mengandalkan musim.***