KALPATARA.ID-Menurut UN Envinronment Program (UNEP), industri fashion merupakan penyumbang sekitar 10% emisi karbon global. Angka ini lebih besar dari gabungan seluruh penerbangan internasional dan pelayaran maritim. Sayangnya, kondisi ini belum menjadi perhatian banyak konsumen fashion. Angka penyumbang ini disebut sebagai Fast Fashion.
Istilah Fast Fashion akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di kalangan fashion, teruma dihubungkan dengan kesadaran lingkungan dan daya keberlanjutan bumi.
Disebut dengan Fast Fashion karena melibatkan desain, produksi, distribusi, dan pemasaran pakaian yang cepat, yang berarti bahwa pengecer mampu menarik variasi produk yang lebih banyak dalam jumlah besar dan memungkinkan konsumen mendapatkan lebih banyak fashion dan diferensiasi produk dalam satu waktu dan mematok harga rendah.
Tulisan Business Insider tentang bagaimana Fast Fashion menjadi penyumbang emisi karbon dan ikut berperan dalam semakin buruknya situasi bumi, memberikan data, industri ini menggunakan banyak sumber air dan mencemari sungai, sementara itu 85% tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah setiap tahunnya. Bahkan mencuci pakaian melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahunnya, setara dengan 50 miliar botol plastik.
Quantis International tahun 2018 melaporkan, tiga penyebab utama dampak polusi global dari industri ini adalah pewarnaan dan finishing (36%), penyiapan benang (28%) dan produksi serat (15%).
Laporan tersebut juga menetapkan bahwa produksi serat memiliki dampak terbesar terhadap pengambilan air tawar (air yang dialihkan atau diambil dari sumber air permukaan atau air tanah) dan kualitas ekosistem akibat budidaya kapas, sedangkan tahap pewarnaan dan penyelesaian akhir, penyiapan benang, dan produksi serat mempunyai dampak yang paling besar.
Mengapa Fast Fashion memiliki dampak besar pada emisi karbon, inilah penjelasannya.
Penggunaan Sumber Air
Industri fashion merupakan industri konsumen air terbesar kedua, membutuhkan sekitar 700 galon untuk memproduksi satu kemeja katun dan 2.000 galon air untuk memproduksi celana jins. Pewarnaan tekstil merupakan pencemar air terbesar kedua di dunia, karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan, sungai atau sungai.
Mikroplastik
Selain itu, penggunaan serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Laporan tahun 2017 dari Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memperkirakan bahwa 35% dari seluruh mikroplastik – potongan kecil plastik yang tidak dapat terurai secara hayati – di laut berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.
Menurut film dokumenter yang dirilis pada tahun 2015, The True Cost, dunia mengonsumsi sekitar 80 miliar pakaian baru setiap tahun, 400% lebih banyak dibandingkan konsumsi dua puluh tahun lalu.
Produksi fashion berbahan kulit pun memiliki jalur lebih panjang dan melibatkan proses yang lebih banyak menghasilkan emisi karbon. Bahan kulit membutuhkan pakan, lahan, air, dan bahan bakar fosil dalam jumlah besar untuk beternak, sedangkan proses penyamakan merupakan salah satu proses yang paling beracun di seluruh rantai pasokan fesyen karena bahan kimia yang digunakan untuk menyamak kulit – termasuk garam mineral, formaldehida, turunan tar batubara dan berbagai minyak dan pewarna- tidak dapat terurai secara hayati dan mencemari sumber air.
Energi
Produksi pembuatan serat plastik menjadi tekstil merupakan proses intensif energi yang membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar dan melepaskan partikel yang mudah menguap dan asam seperti hidrogen klorida. Selain itu, kapas, yang banyak digunakan dalam produk Fast Fashion, juga tidak ramah lingkungan untuk diproduksi. Pestisida yang dianggap penting untuk pertumbuhan kapas menimbulkan risiko kesehatan bagi petani.
Untuk mengatasi limbah yang disebabkan oleh Fast Fashion, kain yang lebih ramah lingkungan yang dapat digunakan dalam pakaian antara lain sutra liar, katun organik, linen, rami, dan lyocell.
Secara produksi, Fast Fashion menghasilkan jejak karbon yang menjadi penyumbang gas rumah kaca. Dampak Fast Fashion juga bisa merambah pada persoalan sosial, apabila melibatkan pekerja anak-anak, tenaga kerja yang dibayar murah, juga peraturan lingkungan yang diabaikan.
Kerusakan yang hadir hari ini, tidak bisa dilepaskan dari tumpukan ratusan tahun aktivitas manusia mengesampingkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Generasi hari ini mewarisi tanggung jawab untuk menyeimbangkan kembali atau paling tidak menjaga angka kerusakan tidak semakin bertambah buruk, sehingga bumi masih layak sebagai tempat yang berkelanjutan untuk ditinggali. Mungkin ini kabar buruk dari era sekarang. ***