KALPATARA.ID/NUSANTARA CODE – Salah satu aktivitas yang digiatkan oleh gerakan Nusantara Code pada program fase pertama ini adalah melakukan penelusuran ulang terhadap praktik pertanian tradisi dan nilai budaya lokal.
Selepas workshop selama tiga hari, tim riset Nusantara Code Indramayu menyusuri bentang Indramayu untuk menelisik jenis-jenis persawahan yang terdapat di Kabupaten Indramayu.
Hasil penelusuran, Indramayu memiliki tiga jenis topografi sawah, terdiri dari: lahan persawahan dengan irigasi teknis, tadah hujan, dan sawah salin yang terletak di pesisir.
Lahan salin di Indonesia pada umumnya terbentuk dari adanya genangan yang lama oleh air laut sebelum direklamasi dan/atau adanya intrusi air laut yang terjadi di musim kemarau. Tanah ini mengandung kadar natrium terlarut yang tinggi (8-15%).
Dari informasi yang didapat, lahan salin yang terdapat di Indramayu memiliki hal yang menarik, yaitu aplikasi metode sawah tumpang sari dengan empang.
Hari Jumat, 21 Juli 2023, tim riset Indramayu terdiri dari gabungan praktisi petani Indramayu dan mahasiswa jurusan Antropologi Universitas Airlangga ditemani tim dokumenter melaju menuju pesisir Indramayu.
Narendra Nurcahya, terbilang paling senior diantara dua rekannya hari itu. Namun, praktisi petani yang mengimplementasikan dan gencar bersuara tentang kelestarian lingkungan ini tak kalah gesit dengan dua rekannya yang masih muda.
Gusti, mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga yang sebelumnya aktif mengkampanyekan Gerakan Bangga Pangan Lokal (Gerbang Pangkal) mengikuti gerak gesit Nurcahya, berusaha mengenali dan mencermati bentang-bentang persawahanan.
Zulfikar dari Serikat Petani Indonesia wilayah Indramayu yang masih muda tak kalah antusias untuk ikut serta terlibat dalam mendiskusikan gerak tim riset. Sementara, Sjahrul terus bersiap dengan alat dokumentasi untuk merekam kegiatan mereka.
Laju kendaraan roda dua yang ditumpangi keempat warriors peneliti lokal itu tiba di Desa Krangkeng, Kecamatan Krangkeng pada pukul 14.27 WIB. Meski sempat berjibaku menyeleraskan antara tubuh muda dengan usia tua kendaraan mereka, Zulfikar dan Gusti akhirnya bisa juga menyepadani gesitnya Nurcahyo yang tadinya melaju di depan.
Tim riset berkenalan dengan metode Mina Padi, sebuah persatuan antara sawah dengan empang. Mina, dari bahasa Jawa berarti ikan. Di dalam satu lahan, dua makhluk hidup berbeda ruang hidup dipertemukan. Ikan yang hidup di air dan padi yang tumbuh di darat.
Lahan dengan metode Mina Padi, membentang dengan lahan persawahan padi di tengah dan dikelilingi oleh parit yang diisi ikan nila.
Supandi (50 tahun), adalah inisiator Mina Padi di Indramayu yang berasal dari Desa Krangkeng. Supandi mengaku menyatukan dua ruang ini dengan tujuan optimalisasi lahan agar lebih mendatangkan profit.
Mengutip dari kanal Kementerian Pertanian, teknik budidaya Mina Padi memang mulai dikenal sejak tahun 2016an. Perpaduan ikan dengan padi secara konsep dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan.
Dari segi ekonomi, meskipun ruang tanam padi menjadi berkurang, tetapi menjadi ruang gerak ikan yang sekaligus membantu mencegah dan mengurangi hama pengganggu tanaman, seperti wereng, keong mas, dan tikus.
Mina Padi juga membawa semangat pertanian selaras alam karena pemupukan dasar pada olah tanah sawah dilakukan dengan pupuk kandang/kompos. Ditambah lagi kotoran- kotoran ikan menjadi penambah pupuk alami.
Namun, Supandi agak kecewa dengan hasil yang diraupnya akhir-akhir ini . Biasanya, ia memanen padi dan nilanya dua kali dalam setahun, namun tahun ini (2023), di musim tanam dua sawahnya kering tak terairi. Retak-retak tak terhingga.
“Zonk kalau begini nih, petani bingung harus berbuat apa,” ujarnya di tengah pematang sawah.
Retaknya sawah-sawah dihamparan pesawahan Desa Krangkeng dan Desa Kalianyar Kecamatan Krangkeng senyampang dengan retaknya penghasilan petani yang tidak bisa hidup dari sumber nafkahnya sendiri.
Sehingga sedekah bumi tumpengan dengan saling kirim nasi kuning pun hanya terjadi di musim penghujan.
Tim riset yang datang untuk menggali data justru mendapatkan pekerjaan rumah untuk ikut memikirkan solusi-solusi yang mengganggu hasil produksi. Tetapi satu hal yang pasti dicatat, perubahan iklim sudah nyata di hadapan kita, dan ancaman krisis pangan bisa datang kapan saja jika kita tidak bersiap dan terbuka untuk revitalisasi.***