KALPATARA.ID – Masyarakat Wajo memiliki tradisi leluhur dalam melakukan pesta panen. Sebagai wujud syukur terhadap Tuhan YME akan hasil panen yang baik dan berlimpah biasanya diselenggarakanlah tradisi Mappadendang.
Mappapendang juga sering kali disebut pesta tani, dilakukan penumbukan gabah pada jolloro atau lesung raksasa dengan tongkat besar sebagai penumbuknya, menghasilkan bunyian irama teratur atau nada dari kelihaian pemain.
Para wanita yang beraksi menumbuk lesung dalam bilik baruga disebut Pakkindona, sedangkan para pria menari dan menabur bagian ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga sendiri terbuat dari bambu dengan pagarnya yang terbuat dari anyaman bambu.
Pada penyelenggaraan Mappadendang terdapat ragam aktivitas budaya yang mengiringi, berupa tarian, nyayian dan permainan alat musik (gendang).
Selain itu juga diselenggarakan permainan tradisional, mulai anak-anak hingga orang dewasa turut serta memainkannya. Untuk permainan tradisional yang bersifat ekstreem dan berbahaya hanya dilakukan oleh orang dewasa.
Menurut Wulansary, dalam ekspedisinya mengkaji budaya pertanian di Wajo, ada yang menarik, yaitu pada saat Mappadendang biasanya juga dihadirkan padi yang dianggap sebagai perwujudan Sangiang Serri atau Dewi Padi.
Perwujudan Sangiang Serri yang dimaksud adalah padi yang paling tinggi diantara seluruh hamparan padi yang siap panen di lahan pertanian.
Jika terdapat serumpun padi yang tingginya melebihi padi-padi yang lain dalam satu lahan, maka padi itu diyakini sebagai Sangiang Serri.
Ciri lainnya juga menyertai, yaitu di sekeliling padi yang paling tinggi tersebut tumbuh beberapa jenis tanaman serelia, yaitu tanaman yang sejenis dengan padi. Oleh masyarakat Bugis, tanaman penyerta tadi dipercaya sebagai dayang-dayang Sangiang Serri.
Dalam keyakinan masyarakat Wajo, padi dengan ciri tersebut adalah perwujudan Sangiang Serri yang juga dipercaya sebagai Dewi Kesuburan diyakini akan mendatangkan keberuntungan dan keberkahan bagi pemiliknya.
Pada saat ritual Mappadendang, Sangiang Serri didudukkan di atas kursi yang telah disediakan di bawah pohon. Layaknya ratu atau orang terhormat, sajian ritual Mappadendang adalah sajian penghiburan bagi Sangiang Serri sepanjang malam.
Sebagai warisan budaya leluhur Mappadendang mengandung nilai-nilai filosofi, memiliki fungsi religis, fungsi sosial dan fungsi edukasi kesenian adat.
Sebagai fungsi religi, Mappadendang merupakan wujud syukur terhadap Tuhan YME. Masyarakat Bugis, meyakini bahwa Tuhan yang memberikan mereka rejeki berupa panen yang berlimpah.
Baca Juga: Nusantara Code 2: Dimana Dewi Sri Saat Ini?
Selain itu masyarakat Bugis juga memahami bahwa mereka juga perlu menjaga hubungan yang baik juga dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan, yaitu alam semesta, termasuk padi yang berhasil mereka panen.
Sementara sebagai fungsi sosial, ritual Mappadendang merupakan ajang berkumpulnya seluruh warga desa, menjalin kerukunan, mempererat persatuan dan persaudaraan dalam suasana penuh sukacita.
Sedangkan sebagai fungsi edukasi adat, dengan melakukan Mappadendang, terjadi transfer pengetahuan antar-generasi. Mereka sekaligus melestarikan tradisi budaya mereka sendiri, baik itu berupa musik, lagu, tari, mupun permainan tradisional.