KALPATARA.ID- Di Aceh ada sebuah lembaga adat yang diberi nama Panglima Laot. Lembaga adat ini bertujuan menjaga nilai tradisi dan ekosistem laut, yang meliputi kebisaaan-kebiasaaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan beserta penyelesaian sengketanya.
Menurut sejarah, Panglima Laot telah ada sejak 400 tahun yang lalu, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang memerintah kerajaan Islam di Aceh. Saat itu Panglima Laot bertugas memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan memobilisasi rakyat terutama nelayan untuk berperang.
Saat ini, Panglima Laot berperan sebagai lembaga adat yang yang hidup di tengah masyarakat nelayan di Aceh untuk menegakkan hukum adat laot. Secara spesifik hukum adat laot mencakup kaidah-kaidah yang ditujukan kepada sekelompok orang yang mencari nafkah di laut.
Diperkirakan terdapat sekitar 50 Panglima Laot Lhok di Provinsi Aceh. Lhok sendiri merupakan suatu wilayah yang dihuni oleh sekelompok nelayan dengan seorang pemimpin untuk mengelola laut.
Kewenangan Panglima Laot
Berdasarkan Qanun Aceh No. 10 tahun 2008, struktur Panglima Laot dari yang tertinggi meliputi Panglima Laot Aceh, Panglima Laot Kabupaten/Kota, dan Panglima Laot Lhok.
Salah satu kewenangan Panglima Laot adalah menentukan hari-hari pantang melaut seperti hari Jumat, hari besar Islam, hari kemerdekaan, hari peringatan tsunami Aceh, kenduri laot, dan sebagainya. Aturan tersebut wajib dipatuhi oleh seluruh nelayan dan terdapat sanksi bagi para pelanggar seperti larangan melaut selama beberapa hari.
Larangan melaut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan hari berkabung atas korban tsunami (khusus tanggal 24 Desember). Apabila dijumlahkan, total hari libur melaut nelayan termasuk libur karena cuaca buruk dapat mencapai dua bulan.
Ditinjau dari segi ekologis, larangan melaut tersebut menjadi penting dalam kelestarian ekosistem laut, karena memberikan kesempatan kepada ikan dan biota lainnya untuk berkembang biak.