Program Youth Food Systems Dialogue and Movement telah dimulai sejak 2023. Pada batch pertama gerakan ini ada empat lokasi sasaran: Papua, Sumba Timur, Yogyakarta dan Bogor.
Ada beberapa tahapan yang telah dilalui oleh para peserta program. Pertama, mentoring oleh para akademisi dan stakeholder terkait masyarakat adat. Kedua adalah sensing, yang membawa mereka mengobverasi sekaligus mengalami kehidupan masyarakat adat. Berikutnya, documenting, mereka mendokumentasikan melalui kaca mata mereka segala akivitas dan menghasilkan narasi serta video pendek dan foto.
Semua hal yang telah mereka dapatkan ini kemudian diangkat dalam dialog bersama dengan para mahasiswa dan stakeholder di kampus masing-masing, untuk menghimpun beragam masukan dan pandangan. Dalam proses ini terjadi diseminasi kepada anak-anak muda lain, sehingga konten yang mereka serap dengan seluruh inderawi mereka di lapangan dapat diperluas.
Dari Lokal ke Nasional
Secara bertahap, empat lokasi pelaksanaan telah mendialogkan temuan mereka, kemudian dibawa ke tingkat nasional, mempertemukan kekayaan sistem pangan Indonesia dengan para pemangku kebijakan pangan dalam bentuk workshop nasional.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Ir Damayanti Buchori, MSc, Direktur CTSS mengingatkan bahwa pangan adalah hak asasi manusia. Prof. Damayanti menyitir apa yang disampaikan oleh Presiden Sukarno tentang pertanian sebagai penentu mati hidupnya sebuah bangsa, pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian IPB.
“Sudah lama kami di CTSS berpikir tentang anak muda dan pertanian. Anak-anak muda hari ini berada dalam sebuah fase transisi untuk menentukan masa depan pertanian kita. Maka, sekarang saatnya mendikusikan hal itu. Program ini memang dibentuk untuk anak-anak muda bersuara, ikut terlibat dalam transformasi sistem pangan, ” ujar Prof. Damayanti.
Prof. Damayanti berharap dengan membawa cerita-cerita sistem pangan dari berbagai wilayah ini di masa persimpangan antara tradisi dengan modernitas, kita semua akan tersentuh oleh isu pangan yang membutuhkan perhatian dari siapapun, di semua bidang.
Empat pengalaman pembelajaran sistem pangan dibawakan oleh para mahasiswa yang telah terlibat sejak awal proses. Dari Papua, diwakili oleh Orpha Novita Yosus, perempuan masyarakat adat Suku Namblong dan Muliadi Mochtar dari Universitas Cendrawasih mempresentasikan Suara Hutan Perempuan. Sumba Timur diwakili Ernalinda Ndakularak dan Neldi Tay Maranja dari Universitas Kristen Wira Wacana mengangkat masyarakat adat Marapu. Dari UGM Yogyakarta, mengangkat Desa Wotawati di Gunung Kidul dan dari IPB Bogor mengangkat Kampung Urug.
Ketidaksetaraan dan Diversifikasi Pangan Lokal
Presentasi mereka menggugah para undangan yang hadir dan mendapatkan banyak respon, baik dari peserta yang hadir secara langsung, maupun peserta yang mengikuti lewat zoom dari berbagai daerah. Dialog yang kaya dengan menyoroti realitas sistem pangan lokal yang masih berada dalam posisi tepi.
Presentasi mereka ditanggapi oleh Ahmad Arif (jurnalis), Renita Puji Semadi (Kehati), dan Ayip Said (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan). Dari sini terungkap, bahwa perhatian pangan Indonesia masih terfokus pada beras.
Sementara keanekaragaman hayati Indonesia menawarkan beragam pangan yang sesuai dengan lansekap lingkungan dan budaya. Diversifikasi menjadi kata yang mengemuka dalam melihat sistem pangan.
Dr. Ir. Melani Abdulkadir-Sunito dari The Samdhana Institute menyampaikan, “Sistem pangan lokal kita menghadapi beberapa ketidaksetaraan, mulai dari gender, pangan, agroekologi, komunitas, dan skala.”
Melani menjelaskan, ketidaksetaraan gender telah kita ketahui tentang pembagian peran dan tidak berhenti di situ saja. Ada ketidaksetaraan pangan yang hanya berfokus pada beras; ketidaksetaraan agroekologi yang lebih banyak melihat sawah. Ketidaksetaraan komunitas yang masih berfokus pada komunitas yang sudah besar, sementara belum banyak memperhatikan masyarakat adat dan masyarakat di pulau terpencil; dan juga ketidaksetaraan skala, yang juga masih berfokus ada skala besar.
Di hari pertama workshop, para mahasiswa dari 4 wilayah berdiskusi untuk menyusun manifesto sebagai perwujudan suara mereka sebagai generasi muda atas kondisi sistem pangan lokal.