Mappadendang merupakan salah satu tradisi masyarakat agraris suku Bugis yang sayangnya saat ini, sudah jarang ditemui di masyarakat petani di Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan adanya perubahan sistem pertanian sejak masuknya revolusi hijau di tahun 1980-an di Indonesia.
Revolusi hijau bukan saja menghilangkan tradisi yang bersifat ritual seperti Mappadendang, namun juga melenyapkan berbagai peralatan pertanian tradisi karena sudah tidak relevan untuk digunakan lagi.
Dalam kesempatannya, Wulansary bertemu dengan budayawan Bugis, yaitu Ambo Tang Daeng Matteru di Desa Tosora. Disampaikan oleh budayawan tersebut bahwa saat ini Wajo ingin mengembalikan kembali tradisi agraris yang dulu pernah ada di kampung mereka.
Telah muncul kesadaran di masyarakat bahwa warisan leluhur yang mulai ditinggalkan sesungguhnya menyimpan pengetahuan yang selaras dengan alam, yang dalam istilah modern disebut dengan sustainability.
Begitu juga dengan Mappadendang sebagai bagian dari rangkaian ritus agraris yang cukup panjang prosesnya.
Menurut Ambo Tang Daeng Matteru, perlu dilakukan upaya merevitalisasi budaya leluhur. Hal ini disambut baik oleh tim Nusantara Code yang sebentar lagi akan melakukan kegiatan dengan beberapa masyarakat adat di Indonesia dalam Gerakan Budaya untuk Kedaulatan Pangan.
Wajo adalah salah satu daerah yang kembali mengangkat tradisi Mapadendang. Sebagai bentuk melestarikan budaya warisan leluhur agar tetap dikenal dan dicintai setiap generasi. Diaman para leluhur mewariskan setiap tradisi dengan mengandung makna yang mendalam tentang filosofi kehidupan.***