KALPATARA.ID – Menjelang puasa, di Aceh dengan mayoritas muslim, menyelenggarakan meugang. Dalam tradisi ini, antara agama dengan budaya menyatu dan dirayakan seluruh masyarakat Aceh.
Meugang telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Aceh sejak lama. Menjelang puasa, tradisi meugang berupa makan daging pada saat sebelum memulai puasa Ramadhan.
Kadang disebut dengan ma’meugang, tradisi ini rupanya memiliki sejarah sejak era Kerajaan Aceh Darussalam, mengikuti tradisi yang dilakukan Sultan Iskandar Muda.
Dalam tulisan Marzuki yang berjudul Tradisi Meugang dalam Masyarakat Aceh, Sebuah Tafsir Agama dalam Budaya, mengisahkan perayaan meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja serta menyambut datangnya bulan Ramadhan, sehingga dipotonglah lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat.
Tradisi ini masih diikuti hingga kini dan telah melekat dalam kehidupan beragama masyarakat Aceh. Tidak hanya sebelum puasa, meugang juga dilakukan menjelang Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Dalam setahun, meugang dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pada dua hari sebelum puasa, dua hari sebelum Iedul Fitri dan dua hari menjelang Iedul Adha.
Masyarakat Aceh yang sebagian besar mengkonsumsi hasil laut di hari-hari biasa. Maka, di hari-hari meugang berpindah menu dengan menikmati daging. Utamanya daging sapi, meskipun ada juga yang menambahkan dengan daging lembu, bebek atau ayam.
Dikutip dari laman resmi pemerintah kota Banda Aceh, perayaan meugang memiliki kekhasan dalam pengolahannya di masing-masing daerah. Di Pidie, Bireun, Aceh Utara, daging sapi diolah menjadi kari atau sup daging. Di Aceh besar, daging sapi diolah menjadi asam keueung, sie reuboh (daging yang dimasak dengan cuka), rendang dan sop daging.
Berbeda lagi di Nagan Raya, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan, daging diolah menjadi gulai merah dengan ciri khas rasa pedas.
Baca Juga: Massuro Baca, Tradisi Suku Bugis Menyambut Puasa
Saat ini di Aceh, meugang merupakan tradisi yang harus dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Tradisi ini, selain meneladani yang dilakukan Sultan Iskandar Muda juga dilakukan sebagai ajang berkumpul keluarga.
Anggota keluarga yang merantau, pulang kembali ke rumah untuk menyambut datannya bulan Ramadhan bersama keluarga.***