KALPATARA.ID- Perjalanan perayaan Imlek di Indonesia tidak terlepas dari tradisi perayaan Imlek sejak ribuan tahun lalu, yang dibawa oleh masyarakat Tionghoa dari Cina ketika bermigrasi ke Indonesia.
Setelah masa kemerdekaan, perayaannya Imlek ditetapkan sebagai hari raya keagamaan. Meski kemudian sempat juga ada masa tidak boleh dirayakan secara terbuka, namun selanjutnya perayaan Imlek menjadi libur nasional yang hingga kini dirayakan pada setiap tahunnya.
Imlek sendiri merupakan penanggalan lunar yang ditetapkan pada masa dinasti Han di Tionghoa. Sistem kalender ini mengawali tahun di musim semi, yang dinilai cocok untuk masyarakat agraris Tionghoa.
Budaya Tionghoa masuk bersama kedatangan orang Tionghoa yang bermigrasi ke berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia untuk berdagang. Kedatangan mereka turut berdampak pada perkembangan kebudayaan di tanah air.
Kalpatara merangkum perjalanan perayaan Imlek di Indonesia sampai dengan dijadikan Hari Libur Nasional, sebagai berikut:
Imlek Dimasa Pemerintahan Soekarno
Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden Pertama RI Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang Hari-hari Raya Umat Beragama No.2/OEM-1946 yang menetapkan 4 hari raya masyarakat Tionghoa yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek).
Dengan demikian secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa.
Pada masa itu, orang-orang Tionghoa juga bisa berekspresi secara bebas, seperti berbahasa Mandarin, bahasa lokal, memeluk agama Konghucu, punya surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama Tionghoa. Sekolah, toko, restoran, dan bengkel bisa memasang plang bertulisan Mandarin.
Larangan Imlek era Soeharto
Di era Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa pada 6 Desember 1967. Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Karena itu, perayaan imlek saat masa Soeharto umumnya tidak dilakukan, atau berlangsung tersembunyi.
Warga Tionghoa Indonesia Kembali Rayakan Imlek Di era Pemerintahan Gus Dur
Setelah perayaan Imlek dilarang selama 23 tahun di era Orde Baru, pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No. 14/1967.
Melalui keputusan Gus Dur tersebut, masyarakat Tionghoa diberi kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.
Sejak dicabutnya Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka.
Hari Raya Imlek ditetapkan Sebagai Hari Libur Nasional
Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak ditentukan pemerintah pusat secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing
Di era kepemimpin Megawati Soekarnoputri ini, Pemerintah menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Itulah perjalanan perayaan Hari Imlek di Indonesia sebagai cermin keberagaman di Indonesia. Untuk itu sebagai negara dengan kepercayaan dan budaya yang majemuk, penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk saling menghargai budaya dari suku, etnis, ras, dan agama lain.***