KALPATARA.ID-Menurut penelitian, lebih dari seperlima dari titik kritis dunia yang berpotensi bencana — seperti mencairnya permafrost Arktik, runtuhnya lapisan es Greenland dan transformasi tiba-tiba hutan hujan Amazon menjadi sabana — dapat terjadi paling cepat tahun 2038.
Dalam kurung waktu kurang dari dua dekade, bumi akan mengalami malapetaka lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Titik kritis bumi sebelumnya diramalkan dapat terjadi pada tahun 2100 (77 tahun dari sekarang), para ilmuwan dalam penelitiannya terkini justru memperkirakan bisa terjadi 23 hingga 62 tahun lebih awal tergantung pada seberapa tekanan yang diberikan pada bumi.
Dalam pemahaman klimatologi, “titik kritis” adalah ambang batas di mana sistem iklim lokal, atau “elemen kritis”, berubah secara permanen. Misalnya, jika lapisan es Greenland runtuh, dapat berakibat pada pengurangan hujan salju di bagian utara pulau, membuat sebagian besar lapisan itu tidak dapat diperbaiki.
Upaya dalam memperkirakan malapetaka yang bisa hadir di bumi diungkap dalam jurnal Nature yang diterbitkan 22 Juni lalu.
“Lebih dari seperlima ekosistem di seluruh dunia berada dalam bahaya kehancuran,” kata salah satu penulis jurnal Simon Willcock, seorang profesor di bidang keberlanjutan di Universitas Bangor Inggris.
Wilcock menambahkan, “Namun, tekanan yang sedang berlangsung dan kejadian ekstrem menyumbangkan perubahan cepat yang mungkin di luar kendali kita. Begitu ini mencapai titik kritis, semuanya sudah terlambat.”
Menurut para peneliti, sebagian besar studi yang berkaitan dengan titik kritis membangun matematika dalam model mereka untuk fokus pada satu penyebab utama keruntuhan, misalnya penggundulan hutan di hutan hujan Amazon.
Namun, hari ini gangguang pada ekosistem tidak hanya disebabkan oleh satu masalah melainkan segerombolan faktor destabilisasi yang saling memperumit. Misalnya, Amazon juga menghadapi kenaikan suhu, degradasi tanah, polusi air, dan tekanan air.
Untuk menyelidiki bagaimana elemen-elemen penyumbang malapetaka ini berinteraksi para ilmuwan di balik studi baru ini membangun model komputer dari dua danau dan dua ekosistem hutan (termasuk yang memodelkan keruntuhan peradaban di Pulau Paskah) dan menjalankannya lebih dari 70.000 kali sambil menyesuaikan seluruh variabel.
Setelah menguji sistem mereka di berbagai model, para ilmuwan membuat beberapa temuan dengan hasil yang meresahkan: berbagai penyebab malapetaka saling memberikan pengaruh dan membawa transformasi mendadak.
Ini berarti bahwa biaya sosial dan ekonomi yang signifikan dari perubahan iklim akan dibutuhkan lebih cepat dari yang diharapkan, membuat pemerintah memiliki lebih sedikit waktu untuk bereaksi daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Hari ini, banyaknya laju upaya untuk mengatasi perubahan iklim, terus berkejaran dengan kerusakan ekosistem yang juga semakin melaju cepat.***