KALPATARA.ID – Wuku Manahil (Jawa) atau Menail (Bali) adalah wuku ke 23 dalam Penanggalan Pawukon. Mengambil nama dari Raden Manahil, anak Prabu Watugunung dan Dewi Sinta.
Raden Manahil memiliki kembaran Raden Prangbakat. Meskipun kembar, keduanya memiliki karakter bawaan lahir dan proyeksi nasib masing-masing.
Kelahiran wuku Manahil berada di bawah lindungan Batara Citragada. Dalam pewayangan, Batara Citragada masuk dalam golongan Raja. Citragada adalah Raja negara Magadha. Anak dari Citradarma dengan permaisuri Citraresmi.
Saudara Citragada yang bernama Citrawati adalah salah satu istri Arjuna.
Citragada menaiki tahta Magadha di usia yang masih sangat muda. Setelah ayahnya moksa, tanggung jawab kerajaan diserahkan kepada Citragada, termasuk menjadi penjaga Citraresmi yang pada sebuah masa, menerima lamaran dari banyak raja. Kisah tentang sayembara mencari pasangan Citraresmi ini cukup meresahkan Citragada. Pasalnya, banyak raja yang hendak melamar mengikutsertakan gelar pasukan.
Sebagai Raja Magadha, Citragada mengemban tugasnya dengan sangat bertanggungjawab. Ia bahkan memilih menjadi brahmacari (tidak menikah) sepanjang hidupnya.
Kelahiran wuku Manahil atau Menail, mengikuti karakter Batara pelindungnya. Karakter bawaan lahirnya tekun, teliti dan rajin. Ketekunannya membuat kelahiran wuku Manahil memiliki kecerdasan.
Gambaran tentang keresahannya waktu sayembara pasangan Citraresmi menunjukkan tentang karakter yang tidak suka bermusuhan. Kelahiran wuku Manahil lebih suka melakukan hal-hal dengan panji-panji perdamaian.
Ketika dalam posisi memimpin, kelahiran wuku Manahil menunjukkan sifatnya yang terkadang angkuh dan merasa paling benar. Namun, itu semua karena kelahiran wuku Manahil selalu waspada akan sekitarnya. Kewaspadaan tingkat tinggi ini juga menimbulkan sak wasangka dan gelagat-gelagat kecemburuan pada gerakan-gerakan di sekitarnya.
Kelahiran wuku Manahil adalah tipikal yang suka bekerja keras. Ia tak suka menganggur. Kadang apa yang dikerjakannya tak terlihat manfaat, namun baginya yang terpenting ia melakukan sesuatu dengan cara yang ia pahami.
Di dalam buku Pawukon koleksi Museum Radya Pustaka digambarkan Raden Manahil sedang menghadap Batara Citragada yang membawa tombak terhunus. Ini menyimbolkan ketangkasan dan ketajaman pemikiran, namun tombak yang terhunus juga merupakan simbol kewaspadaan yang tinggi.
Pohon yang digambarkan adalah pohon tengaron atau tigaron. Pohon ini adalah jenis pohon yang tumbuh di lahan basah. Namanya diadopsi dari tangkainya yang hanya tumbuh tiga daun. Di Indonesia dikenal sebagai pohon tigaron, tluron atau tengaron. Di India disebut sebagai pohon barna suci. Pohon ini memiliki bunga yang sangat banyak dan berguguran ketika buahnya membesar.
Di dalam penanggalan Pawukon, pohon tigaron melambangkan karakter yang rajin, mengerjakan dan bermekaran aktivitasnya, namun apa yang dilakukan tidak banyak memberi manfaat, berguguran begitu saja.
Burung yang melambangkan karakter kelahiran Manahil adalah burung sepahan. di Jawa, burung sepahan dipelihara di rumah, karena berkicau dengan nyaring. Di kalangan pecinta burung, sepahan sering dipakai sebagai masteran untuk burung yang lain. Burung sepahan melambangkan karakter yang gesit dan memiliki banyak kemampuan dalam mencari nafkah, tetapi tidak diiringi dengan derasnya rejeki.
Baca Juga: Wuku Maktal, Karakter dan Proyeksi Nasib Menurut Pawukon
Gambar air dalam tempayan di karakter bawaan lahir wuku Manahil menyimbolkan pribadinya yang menyukai ketenangan dan kedamaian. Meskipun terkesan angkuh, ia selalu menjaga cara bicara dan sikapnya agar tidak menimbulkan perselisihan dengan orang lain.
Keris yang sesuai untuk wuku Manahil atau Menail adalah Sempana Kinjeng, Kebo Lajer, Pudhak Sategal, Putri Sinaroja, Campur Bawur dan Sadak.***