KALPATARA.ID – Lontar Sri Tanjung berisi kidung Jawa Kuno yang menjadi legenda bagi masyarakat Jawa bagian Timur. Dalam lontar ini tertulis dalam manggala nama sebuah wuku, yaitu Wuku Prangbakat. Dari penulisan ini, dilihat dari konteks gaya tulisnya, menjadi gambaran dua kebudayaan Islam dan Jawa telah menyatu di Nusantara.
Naskah Sri Tanjung digubah oleh Citragotra yang juga menggubah naskah Sudamala. Cerita dalam naskah ini berkisah tentang Sri Tanjung yang bersuamikan Sidapaksa. Melalui liku-liku cerita, Sri Tanjung yang beberapa waktu ditinggal oleh Sidapaksa ke swargaloka, dituduh mencoreng kesetiaan.
Untuk membuktikan diri, Sri Tanjung bersedia dibunuh, namun Sidapaksa diminta menyaksikan, setelah kematian Sri Tanjung apabila tercium bau harum maka ia tidak bersalah. Dan ternyata setelah kematiannya, tercium lah bau harum. Dengan konteks akhir cerita ini, diterangai menjadi sejarah asal usul nama Banyuwangi.
Naskah Sri Tanjung sebenarnya bukan naskah tunggal. Dari penggunaan bahasa, naskah Sri Tanjung ditemukan memiliki dua versi bahasa, bahasa Bali dan bahasa Jawa.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Wiwin Indiarti dan Anasrullah berjudul Lontar Sri Tanjung, Kidung Kuno Ujung Timur Jawa, Transliterasi dan Terjemahan Manuskrip Beraksara Pegon, mengambil sumber dari naskah Sri Tanjung berbahasa Jawa yang menggunakan aksara Arab pegon. Naskah puisi Sri Tanjung di Banyuwangi ditulis di atas kertas menggunakan aksara pegon dan lebih dikenal sebagai Lontar Sri Tanjung.
Meski menggunakan aksara pegon, penanggalan di dalam naskah, menyebutkan unsur penanggalan yang mencirikan penulisan penanggalan Jawa, tertulis sebagai berikut:
Teja bayu kaki wangsitépun / ing kuna lawasé / sidamala10 dok ginawi / peputhut kang angapus / Citeragotera parabépun / lintang kerti penanggalé / purnama anuju guru / buda manis ring perangbangkat11 / sidamala12 dok rinipta //
Terjemahan: Cahaya dan angin membisikkan wangsit / dari masa yang telah silam / (kisah) Sudamala telah dituliskan / seorang brahmana yang menceritakan / Citragotra namanya / pada waktu lintang kerti / purnama anuju guru / buda manis saat prangbakat / (kisah) Sudamala itu telah diciptakan /
Di dalam bagian akhir naskah terdapat kalimat penutup yang berbunyi, walahualam.
Isi naskah memiliki konteks latar belakang Pandawa, dari epos Mahabarata namun bercirikan Jawa, dengan hadirnya punawakawan di dalam naskah. Mahabarata versi India tidak memasukkan lakon punawakan dalam cerita.
Meskipun ditengarai naskah Sri Tanjung berhuruf Arab Pegon ini merupakan turunan naskah dari naskah aslinya yang saat ini tidak diketahui keberadaannya, namun unsur aksara, penanggalan dan isi cerita memperlihatkan kepaduan antara Jawa dan Islam.
Diperkirakan salinan ini yang dibuat pada saat Islam sudah merasuk kuat di wilayah Timur Jawa. Disalinnya naskah ini dalam aksara pegon, menunjukkan sinkretisme Jawa dan Islam mewarnai kehidupan di masa itu. Serupa dengan Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang untuk menyebarkan nilai-nilai Islam.
Lontar Sri Tanjung merupakan naskah yang berbentuk puisi tradisional yang terikat dengan metrum macapat. Total dalam Lontar Sri Tanjung terdapat 15 pupuh dan hampir 600 bait. Saat ini jumlah naskah yang mengandung cerita Sri Tanjung ada 10 yang tersimpan di dalam negeri dan 33 buah tersimpan di Leiden.
Lakon Sri Tanjung adalah kisah yang populer dan terwujud dalam berbagai media cerita dengan beragam versi. Prijono dalam disertasinya, Een Oud-Javaansch Verhall, yang melakukan penelitian Sri Tanjung berbahasa Bali, menuturkan ada 22 versi lakon Sri Tanjung.
Di media lain, dalam candi-candi era Majapahit juga ditemukan lakon yang serupa dengan Sri Tanjung, yaitu Candi Jabung, Candi Penataran dan Candi Surawana.
Di waktu yang lebih modern, mulai awal abad 20, lakon Sri Tanjung dipopulerkan oleh para peneliti. Kemudian menjadi inspirasi lakon pementasan drama maupun tari di Jawa dan Bali.***