KALPATARA.ID-Peringatan Malam 1 Suro merupakan tradisi penting di kebudayaan di Indonesia. Sering dianggap sebagai Malam Keramat dalam kisah-kisah legenda dan mitos. Jika digali mendalam, dari peringatan ini, isu keselamatan menjadi pesan pentingnya.
Pada penanggalan Jawa, bulan Suro dinyatakan sebagai bulan yang pertama. Maka, awal tahun baru Jawa diperingati tiap tanggal 1 bulan Suro.
Penanggalan Jawa memiliki kemiripan dan penyatuan dengan penanggalan Hijriyah yang digunakan oleh umat Muslim. Penggabungan waktu ini dilakukan pada era Sultan Agung, yang menandai era Jawa-Islam di wilayah kerajaan Mataram.
Malam 1 Suro bagi pengikut kebudayaan Jawa diperingati bersamaan dengan 1 Muharam yang merupakan peringatan hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah dan ditetapkan sebagai tahun baru bagi umat Islam.
Di Jawa, citra 1 Suro identik dengan hari yang mistis dan diikuti dengan kisah-kisah mitos tentang hal yang keramat atau menakutkan. Karena itu, di hari ini, para penganut kepercayaan Jawa, baik sebagai agama Jawa, aliran kepercayaan berdasarkan budaya Jawa, diisi dengan ritual di tempat-tempat yang dianggap keramat. Lembaga kebudayaan maupun komunitas pun ikut meramaikan dengan melaksanakan kirab pusaka atau jamasan pusaka.
Mari kita sarikan makna penting tradisi Sura ini, dilihat dari ragam ritual yang diselenggarakan di berbagai daerah.
Tapa Bisu 1 Suro di Yogyakarta
Ritual Tapa Bisu di Yogyakarta dilaksanakan dengan berjalan tanpa bicara mengelilingi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dari beberapa sumber, ritual ini telah berkembang sejak era Hamengkubuwana II. Ritual Tapa Bisu dilaksanakan oleh keluarga keraton dan diikuti oleh para abdi dalem.
Yang penting untuk dicatat di sini adalah, selama menjalankan Tapa Bisu, dengan tidak berbicara pada siapa pun disyaratkan untuk melakukan refleksi mendalam atas apa yang telah dilakukan selama tahun lalu dan memetik pelajaran dari semua peristiwa.
Aksi ritual ini juga memiliki makna perenungan untuk mengambil pelajaran penting dari semua peristiwa itu dan memiliki kesadaran untuk memperbaiki kesalahan sehingga bisa menghandiri malapetaka di kemudian hari.
Larap Slambu, Sragen
Ritual Larap Slambu dilakukan dengan penyucian kain kelambu Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Sragen. Air penyucian diambil dari 7 sumber air.
Ritual sakral ini melibatkan banyak orang karena melalui beberapa tahapan prosesi, diantaranya ada kirap kelambu, pembilasan kain kelambu, perebutan air bilasan kelambu yang dipercaya memberi berkah.
Di balik ritual tahunan ini, yang menjadi catatan adalah niat pembersihan dan penyucian dengan 7 sumber air. Dengan begitu ada 7 energi air dari 7 tempat yang berbeda bertemu dengan menjadi satu dan dapat digunakan secara bersama-sama.
Konsep ngalap berkah yang dikatakan hadir ketika air tersebut dibagikan, dapat dimaknai lebih luas dengan menerima 7 energi alam yang murni untuk membersihkan kekotoran hati dan pikiran dalam diri manusia. Air adalah elemen yang membersihkan dan menyucikan.
Dengan demikian, memasuki tahun berikutnya, tubuh, hati dan pikiran manusia telah mendapati siraman dari 7 energi air sehingga menjadikan manusia yang menerima bisa lebih tenang dan kesegaran pikiran dalam membuat langkah selanjutnya, agar tidak diburu oleh kekotoran yang melekat.
Petik Laut, Banyuwangi
Bagi yang tinggal di pesisir, seperti Banyuwangi, tradisi Petik Laut dilaksanakan pada malam 1 Suro. Dilaksanakan oleh para nelayan atau mereka yang selama ini mengambil hasil laut. Mereka melarung kepala kerbau yang diletakkan pada perahu kecil ke tengah laut bersama dengan hasil panen di bumi dan laut.
Di waktu yang sama, di dekat pantai juga digelar selamatan dan pesta syukur yang ramai dan membahagiakan.
Ritual ini memiliki makna yang mengingatkan semua yang pernah berhubungan dengan laut tetap dekat dengannya dan mengucapkan terima kasih. Dalam doa-doa dipanjatkan ketersambungan intim manusia dengan alam laut. Agar manusia yang tengah berada di laut tak dijauhkan dari keselamatan.
1 Suro, Malam Tahun Baru yang Genting
Dari ketiga ritual di atas dan masih banyak ritual lain dengan nama yang berbeda, namun secara umum memiliki niat yang sama, kita telah melihat bahwa ada makna pengingat akan diri dan kewaspadaan pada keselamatan.
Malam 1 Suro merupakan malam pergantian tahun yang tidak seperti pesta perayaan tahun baru Masehi. Dengan keriuhan atau pesta kembang api.
Di masyarakat tradisi, awal tahun bukan perayaan, melainkan peringatan. Agar tetap ingat sebagai manusia dengan fitrahnya (karena itu melakukan refleksi) juga kesadaran melakukan laku di jalan keselamatan.
Di periode yang sama peristiwa bulan baru (bulan mati atau bulan tilem) juga menjadi penguat astronomis yang menempatkan manusia-manusia di bumi masuk dalam fase konstemplasi.
Pergantian tahun, mungkin bisa secara dangkal digambarkan dengan pergantian shift, berisi evaluasi dan refleksi serta kesiapan diri pada masa yang baru. Peristiwa pergantian ini menjadi momentum genting karena seringkali muncul keterlenaan dan hilangnya kewaspadaan. Karena itu, perlu diperingati agar kesadaran kita sebagai manusia menyambut hal baru tetap penuh. Eling lan Waspada.***