KALPATARA.ID – Penanda waktu menjadi bagian penting dalam dokumentasi sejarah Indonesia. Selain di prasasti, pencantuman waktu juga ditemui pada penulisan Babad. Salah satunya adalah Babad Demak.
Babad Demak ditulis pada hari Kamis, tanggal 8 Zulkaedah, wuku Wugu, windu Adi, tahun Alip 1835 (sara bahning Slireng rat) atau tahun 1323 Hujrah (guna Dhesthi lir dahara sasra), dan bertepatan pula dengan tanggal 5 Januari 1906 (rasa nir Trustheng rupa).
Naskah selesai di tulis pada hari Kamis Pon tanggal 11 Zulkaedah tahun Ehe 1836 atau tahun 1324 hijrah atau 27 Desember 1906. Penulisan Babad ini atas kehendak Sri Sultan Hamengkubawana VII. Pemimpin pelaksanaan penulisan ini adalah Raden Tumenggung Suryadi putra dari KGP Adipati Mangkubumi.
Sri Sultan Hamengkubawana VII di masa pemerintahannya terjadi proses popularisasi kebudayaan dalam segala bidang, di samping juga karya-karya yang lahir di masa itu cenderung menampilkan elegansi pada simbol-simbol budaya Jawa.
Dilansir dari laman resmi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubawana VII memegang era transisi tradisional menuju modern. Karya-karya seni dalam Kraton mulai diperkenalkan keluar tembok Kraton.
Tidak hanya karya seni, di era Sri Sultan Hamengkubawana VII, organisasi pergerakan kemerdekaan Indonesia diberi ruang tumbuh. Loji Mataram milik Sultan dipinjamkan ke Budi Utomo untuk melaksanakan kongres. Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengkubawana VII.
Naskah asli Babad Demak berbentuk tembang macapat, seakan meloncat-loncat, karena selain kronik Kerajaan Demak, juga diselingi oleh cerita legenda yang hidup di masa itu. Dalam naskah menceritakan peristiwa yang berhubungan dengan kerajaan Demak, yang di mulai dari kepemimpinan Prabu Brawijaya yang merupakan ayah dari Raden Patah, di Majapahit hingga berakhirnya kepemimpinan Sultan Bintara (Raden Patah) di Demak.
Salah satu legenda yang hadir dalam naskah tersebut adalah kisah Jaka Tarub. Termuat dalam pada bagian XI (sinom), XIV dan XV (kinanti), XVI (mijil), menceritakan mengenai putra dari Syeh Maulana Magribi dan Rasawulan yang dititipkan dan diasuh oleh Nyai Randa Tarub di desa Tarub. Anak itu memiliki banyak keistimewaan dan terkenal dengan nama Jaka Tarub. Lalu berlanjut dengan kisah Jaka Tarub dan Nawangwulan.
Pada tahun 1981, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah menerbitkan buku Babad Demak I yang berisi tentang alih aksara naskah asli Babad Demak. Urutan buku disesuaikan dengan naskah asli, berupa tembang. Alih aksara dikerjakan oleh Slamet Riyadi dan alih bahasa bebas oleh Suwaji.
Di dalam buku alih aksara ini naskah tembang asli ditulis ulang di bagian belakang, sedangkan bagian depannya disajikan dalam narasi deskriptif berbahasa Indonesia.
Diberi judul Babad Demak I karena buku ini memiliki batas waktu penceritaan, yaitu saat Raden Bintara menyerahkan kekuasaan pada Pangeran Sabranglor, dan ternyata kemudian meninggal lalu digantikan oleh adiknya, Raden Trenggana. Di akhir buku juga menyebutkan tentang kisah Jaka Tingkir. Kisah selanjutnya disediakan dalam Buku Babad Demak II.
Baca Juga: Wuku Medangkukan Disebut di Prasasti Kudadu Era Majapahit
Babad Demak bersifat kosentris, menonjolkan kepemimpinan para raja di zamannya (dalam hal ini Prabu Brawijaya dari Majapahit dan Sultan Bintara dari Demak), banyak kisah-kisah yang bersifat magis dan religius yang melibatkan para Sunan, memfokuskan pada daerah Jawa, urutan ceritanya yang meloncat-loncat serta tokoh-tokoh yang saling berkaitan. Banyaknya kesamaan nama tokoh dan gelar-gelarnya mendorong pembacanya untuk bisa lebih teliti dalam membaca sehingga dapat mengerti isi ceritanya.
Dari waktu penulisan yang diterakan pada awal dan akhir naskah, diketahui penulisan memakan waktu hampir satu tahun matahari. Dari naskah Babad Demak kita juga mengetahui bahwa penulisan penanggalan yang lengkap, termasuk pencantuman penanggalan pawukon menjadi unsur penting, selain sebagai penanda waktu, juga merupakan tanda sebagai dokumen resmi kerajaan.***