KALPATARA.ID– “Cantik sehat tuh mahal minimal makannya salmon, minumnya almond milk lah”. Hemm benarkah demikian?
Apa iya cantik dan sehat bisa didapat dengan konsumsi salmon, almond, blueberry, gojiberry, gandum, chia seed dan fancy food sejenis lainnya. Lalu apa kabar dengan pangan lokal seperti urab, gado-gado-gado, pecel, sayur bening dan tahu tempe?
Menjadi keprihatinan saat banyak ahli gizi justru mengkampanyekan berbagai makanan sehat dengan berat yang berasal dari luar dengan nilai jual beli tinggi alias fancy. Aneka makanan tersebut bukan berasal dari Indonesia dan cenderung bercita rasa kebarat-baratan.
Padahal sejatinya pangan lokal juga memiliki nilai gizi yang sama dan mampu memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Makanan sehat tak melulu harus chia seed, blueberry, almond, gojiberry maupun gandum. Ada banyak pangan lokal yang bisa membantu program diet sehat terlaksana tanpa menuras dompet.
Gandum sebagai pengganti nasi selama ini dianggap “penyelamat” karena memiliki nilai gizi lebih seimbang dan kalori yang sedikit dibandingkan nasi.
Jika demikian mengapa sorgum dan sagu tidak mendapat tempat yang sama dengan gandum. Padahal sorgum dan sagu merupakan salah satu pangan lokal pengganti nasi dan penanamannya mampu tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia Timur.
Masyarakat Indonesia dijejali dengan pemikiran mengkonsumsi fancy food yang memiliki harga mahal. Seolah sehat harus mahal. Padahal sejatinya pangan lokal tradisional dapat memenuhi kebutuhan gizi yang sehat dan seimbang.
Mengkonsumsi sayur bening, tahu tempe dengan nasi tentu saja sudah sehat. Tak harus mixed salad dengan ragam sayuran import serta almod dengan mengkonsumsi karedok, pecel, gado-gado, lalaban sunda, kukusan pisang, urab singkong maupun urab jagung.
Sosialisasi pangan lokal cocok dengan lidah masyarakat indonesia serta hemat biaya. Sehat dan cantik tak perlu diet dengan mengkonsumsi makanan mahal. Plant based tak harus mahal nasi merah, sayur bening dengan lauk pauk sudah mampu memenuhi nilai gizi yang dibutuhkan tubuh untuk kesehatan tanpa membebani kantong.
Saat ini dibutuhkan lebih masif sosialisasi pangan lokal lebih baik dari makanan import sebagai upaya menumbuhkan keyakinan bahwa pangan lokal juga tak kalah bergizi dibandingkan makanan import.***