KALPATARA.ID – Masyarakat Bali dikenal memiliki sistem pertanian yang lengkap dengan balutan budaya yang kental salah satunya adalah Ngoncang.
Ngoncang adalah tradisi khas menumbuk padi warisan leluhur yang berasal dari Singaraja Bali. Berbeda dengan menumbuk padi pada umumnya Ngoncang digunakan dalam beberapa ritual khusus upacara adat.
Biasanya tradisi Ngoncang dilakukan saat akan memulai upacara Pitra Yadnya yang ada pada saat upacara Ngaben. Tak hanya saat panen, Ngoncang juga dilakukan ketika membuka sebuah upacara Motonan anak.
Selain digunakan dalam berbagai upacara adat. Ngoncang juga menjadi penanda hahal yang berkaitan dengan fenomena alam yang tak biasa seperti gerhana bulan.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali tradisi Ngoncang dapat memberikan aura positif bagi warga desa yang melaksanakan Ngoncang saat terjadi gerhana bulan.
Konon dahulunya gerhana adalah raksasa bernama Kalarau. Raksasa Kalarau memakan bulan sehingga terjadilah gerhana. Maka demi menggagalkan Kalarau warga desa melakukan Ngoncang yang alunannya membuat raksasa Kalarau urung niat memakana bulan.
Selain memberikan aura positif, Ngoncang juga diyakini dapat menetralisir aura negatif atau mala. Ngoncang mengarahkan manusia pada keseimbangan hidup antara Sekala dan Niskala.
Ngoncang juga merupakan tradisi sakral pada upacaran Ngaben. Dalam upacara Ngaben, Ngoncang digunakan sebagai media berkomunikasi dengan roh para leluhur. Suara Ngoncang yang riuh bermakna komunikasi yang jelas dan baik dengan Tuhan, roh leluhur, dan semesta.
Dalam upacara Ngaben para pengayah akan memukul lesung atau ketungan dengan tongkat secara bergantian. Pukulan menghasilkan irama unik yang indah dan harmoni. Setiap alunan nada dan irama yang dihasilkan memiliki makna yang sakral.
Dalam bahasa Bali Ngoncang bersal dari kata “gaguncangan” yang artinya riuh. Sesuai dengan riuhnya atau jelasnya suara yang dihasilkan dalam pelaksanaan aktifitas memukul elu dalam lesung.
Tradisi Ngoncang telah ada sejak abad ke-4 pada awal masuknya agama hindu dari India ke Indonesia.
Pada mulanya tradisi Ngoncang dilakukan oleh kaum perempuan. Tetapi kemudia Ngoncang dilakukan oleh para pria yang terdisi dari 6 hingga 8 orang. Saat memukulkan elu pada lesung atau ketungan dilakukan secara bergantian sesuai aturan. Dari keharmonisan tersebut timbulah suara irama Ngoncang yang menarik.
Dikutip dari laman resmi Kementrian Agama tradisi Ngoncang adalah salah satu tradsisi yang sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana. Ngoncang menjadi simbol keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitar.