KALPATARA.ID-Kita mengenal astrologi yang berkiblat pada 12 zodiak dengan referensi Yunani, untuk menaksir sifat dan karakter. Di Indonesia, sudah sejak lama mengenal Pawukon sebagai panduan karakter bawaan lahir seseorang.
Astrologi berbeda dengan astronomi. Jika astronomi berkitar tentang pergerakan benda langit serta interaksi diantaranya, sedangkan astrologi membuka peluang intrepetasi pergerakan benda langit itu pada manusia dan lingkungannya.
Astrologi secara luas membicarakan tentang interaksi antara benda langit, manusia dan alam sekitarnya. Namun, hari ini, astrologi banyak dipahami sebagai ramalan zodiak yang menghubungkan antara zodiak kelahiran dengan karakter manusia, yang kita kenal sebagai horoskop.
Terlepas dari itu, banyak orang yang tertarik untuk mengikuti peruntungan nasibnya berlandaskan zodiak lahir. Banyak juga yang menyusuri karakter seseorang berdasarkan zodiak dengan referensi Yunani.
Sementara, dalam penangalan tradisional ada Penanggalan Pawukon, asli Indonesia yang juga mengandung deskripsi tentang sifat dan karakter seseorang yang lahir di dalam naungan sebuah wuku.
Baca Juga: Penanggalan Pawukon Asli Milik Indonesia
Dari laman Direktorat Kebudayaan RI, dapat dikutip sebuah sumber yang menjelaskan hubungan antara wuku dengan perbintangan. Disarikan dari laman tersebut, berdasarkan Pustaka Raja Parwa, dasar penentuan Pawukon merujuk pada “Bintang Banyak Angrem” (Scorpio) yang disimbolkan Angsa, dan “Bintang Wedus Pedro” (Aries) yang disimbolkan Domba.
Penentuan dasar dapat dibaca dari kiasan “Dewi Sinta” (simbol bumi) yang keluar dari tanah agar dapat bertemu dengan Begawan Wrahaspati (simbol Yupiter) dengan cara memasak mencampurkan (mengandung makna pertemuan) daging Wedus Pedro (Domba=Taurus) dan daging Banyak Angrem (Angsa=Aries). Pertemuan dua rasi bintang tersebut dapat terjadi setelah melalui tujuh rasi atau ruangan dimana setiap ruangan memiliki sudut 30 derajat dan setiap ruangan memiliki usia 2156 tahun.
Oleh karena itu pertemuan tersebut hanya terjadi selama 2156 tahun x 7 ruangan yaitu: 15092 tahun sekali. Dalam peristiwa pertemuan dua rasi Bintang Banyak Angrem (Scorpio) dan Bintang Wedus Pedro (Aries) telah terjadi pada tahun 108 sebelum masehi.
Informasi dari laman ini menjadi landasan untuk melihat Pawukon memiliki hubungan dengan konstelasi bintang, dalam kerangka bahasan budaya. Dengan demikian, Pawukon dapat dimasukkan sebagai astrologi dalam konteks yang luas maupun dalam konteks hari ini sebagai penanda sifat dan karakter. Lebih tajam lagi, budaya Indonesia telah memiliki pengetahuan interaksi antara manusia dengan perbintangan sejak lampau, tak kalah dengan horoskop dengan 12 zodiak dalam referensi Yunani.
Penanggalan Pawukon yang saat ini beredar tidak memiliki hitungan tahun, melainkan siklus dengan durasi 210 hari.
Penanggalan Pawukon, dibuka dengan mite tentang Watugunung, yang memiliki istri Sinta dan Landep dan bersama mereka membuahkan 27 anak. Nama-nama di keluarga inilah yang menjadi nama 30 wuku dalam satu siklus Penanggalan Pawukon.
Mite Watugunung diceritakan dalam beberapa versi. Namun pada intinya, urutan dalam Penanggalan Pawukon merujuk pada mite tersebut. Dalam versi-versi yang ada, urutan tersebut merupakan urutan naiknya sosok-sosok dalam keluarga Watugunung ke langit.
Saat ini, manuskrip tentang Pawukon yang lengkap dan menjadi rujukan banyak penelitian, tersimpan di Museum Radya Pustaka. Penelitian Mutiara Putri Dhamastuty, mahasiswa ISI Surakarta menyebutkan, manuskrip Pawukon ditulis di lembaran-lembaran kertas Eropa berukuran folio.
Kertas ini lebih modern dibandingkan manuskrip pendahulunya yang menggunakan bahan daluang, karena merupakan kertas cetak, dengan watermark seekor singa berdiri di atas balok berhuruf “VRYHEID”, seperti memegang tongkat di tangan kanan dan anak panah di tangan kiri, serta memakai mahkota. Terdapat lingkaran dengan tulisan “PROPATRIA EIUSQUE LIBERTATE”, keterangan ini memberikan petunjuk bahwa kertas ini dicetak pada kisaran tahun 1785.
Dibandingkan dengan horoskop versi lain, Pawukon dianggap memiliki kelebihan. Selain memberi gambaran secara umum untuk mengetahui kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, setiap wuku juga mampu menemukan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari serta proyeksi “nasib” seseorang di masa datang.
Penggambaran keadaan fisik, karakter, serta sifat-sifat orang dalam setiap wuku disajikan lewat simbol seperti dewa, manuk (burung), gedung, panji-panji, pohon atau kayu. Sementara naas atau pengapesan seseorang selalu disertakan dalam perlambang sambekala. Ketigapuluh wuku dalam Pawukon digambarkan secara filosofis dengan ilustrasi menarik, artistik, dan mendetil sesuai ulasan yang terdapat di setiap wukunya.
Dari manuskrip inilah dan kemudian dibaca sebagai proyeksi nasib seseorang yang dibawa sejak hari kelahirannya.
Tertarik untuk mengetahui proyeksi nasibmu?***