KALPATARA.ID-Di antara penanggalan-penanggalan tradisional yang dimiliki oleh berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah Penanggalan Pawukon yang memiliki otentitas sebagai budaya yang lahir dari rahim tanah Indonesia.
Mengutip dari laman Direktorat Jenderal Kebudayaan RI, berdasarkan bukti-bukti prasasti dan arkeologis menunjukkan bahwa Pawukon merupakan budaya asli masyarakat Indonesia yang dipergunakan dan mengakar secara turun-temurun.
Prasasti Kinawe, yang ditemukan di Nganjuk, berangka tahun 849 Saka, dalam manggala nya telah menggunakan wuku sebagai penanda waktu. Prasasti Pupus, ditemukan di Semarang, yang semula berangka tahun 822 Saka lalu diperbarui menjadi berangka tahun 1022 Saka, menyebutkan wuku dalam unsur penanggalan di prasasti. De Casparis (1978) pun berhipotesa, sejak era 900 M, ditemukan penggunaan wuku di dalam penanggalan prasasti, namun belum ditemukan di prasasti sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan prasasti di India dengan angka tahun sejaman, unsur penanggalan wuku tidak ditemukan. Meskipun belum ditemukan bukti kuat yang mendukung kapan pertama kali wuku digunakan, namun dari data prasasti, wuku telah menjadi bagian dari perhitungan waktu yang secara resmi digunakan oleh kerajaan di era tersebut, di bumi yang nantinya menjadi negara Indonesia.
Untuk memahami Penanggalan Pawukon, yang pertama perlu dilakukan adalah membuang jauh perhitungan kalender masehi yang berlaku saat ini. Siklus perhitungan Pawukon berbeda dengan siklus masehi.
Satu siklus wuku terdiri dari 210 hari, terbagi menjadi 30 wuku, dan setiap wuku memiliki durasi selama 7 hari. Perbandingan mudahnya adalah jika dalam istilah internasional kita mengenal one week (1 minggu), maka jumlah harinya sama dengan jumlah 1 wuku, yaitu 7 hari.
Alih-alih menggunakan tahun baru, Penanggalan Pawukon merupakan sebuah siklus yang terus berulang. Wuku dimulai pada hari Minggu (masehi). Sebenarnya wuku merujuk pada perhitungan Saptawara (7 hari) dalam penanggalan tradisional (Radite, Soma, Anggara, Buda, Wrespati/Respati, Sukra, Tumpak/Saniscara), yang juga dimulai pada hari Radite (Minggu-masehi).
Penanggalan Pawukon tidak berisi angka tanggal, melainkan meliputi nama wuku, karakteristik wuku, termasuk juga di dalamnya berbagai aktivitas siklus hidup manusia dari kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, perayaan hari-hari besar, upacara adat, upacara keagamaan, termasuk juga upacara kematian dan juga petunjuk aral lintang dan tata cara keselamatan.
Penggunaan Penanggalan Pawukon, pada era lampau digunakan masyarakat Jawa, Bali dan Lombok sebagai panduan dalam mendidik anak, karena dari pertanda wuku di tanggal kelahirannya dapat diketahui karakteristik bawaan lahir, pendirian rumah, pelaksanaan kegiatan upacara, walaupun sudah mulai lenyap dibalik deru kemajuan zaman.
Hingga hari ini, Penanggalan Bali masih utuh menggunakan wuku sebagai penanda waktu dan peringatan hari-hari upacara. Bahkan, di dalam kurikulum sekolah, Penanggalan Pawukon masuk dalam materi ajar. Maka tak heran, jika anak-anak remaja di Bali masih memahami tentang Penanggalan Pawukon.
Urutan Penanggalan Pawukon dapat dilihat sebagai berikut:
- Sinta
- Landep
- Wukir (Jawa)/Ukir (Bali)
- Kurantil
- Tolu
- Gumbreg
- Warigalit (Jawa)/Waruga (Bali)
- Wariagung (Jawa)/Warigadean (Bali)
- Julungwangi
- Sungsang
- Galungan (Jawa)/Dungulan (Bali)
- Kuningan
- Langkir
- Mondisio (Jawa)/Medangsia (Bali)
- Julung Pujut (Jawa)/Pujut (Bali)
- Pahang
- Kuruwelut (Jawa)/Krulut (Bali)
- Marakeh (Jawa)/Merakih (Bali)
- Tambir
- Medangkungan
- Maktal (Jawa)/Natal (Bali)
- Wuye (Jawa)/Uye (Bali)
- Menail
- Prangbakat
- Bala
- Wugu (Jawa)/Ugu (Bali)
- Wayang
- Klawu
- Dukut
- Watugunung
Jika di masa lampau, kita bisa mengintip penggunaan wuku sebagai penanda waktu pada prasasti, di masa ini, wuku digunakan sebagai penanda waktu siklus manusia, pelaksanaan upacara dan karakter sifat bawaan dari seseorang yang bernaung di dalam wuku tertentu di saat ia dilahirkan. ***