KALPATARA.ID – Madura dijuluki sebagai pulau garam karena menjadi daerah penghasil garam terbesar yang menyuplai kebutuhan garam di Indonesia.
Dikutip dari laman resmi Menristekdikti lahan garam terbesar di Indonesia berada di Madura seluas 15.000 hektar. Maka tak heran bila sebagian besar penduduknya bermata pencaharian utama sebagai petani garam.
Di Madura secara khusus masyarakatnya memiliki tradisi yang berkaitan dengan garam yakni Upacara Nadar atau Nyadar.
Upacara nadar adalah sebuah upacara khusus dalam menyambut panen garam. Kata “nadar” berasal dari bahasa arab “nazar” yang artinya melepas niat. Maksudnya adalah janji untuk melaksanakan sesuatu jika tujuan yang diinginkan tercapai.
Upacara Nadar dilakukan sebagai bentuk rasa syukur para petani garam di Madura atas hasil baik yang dalam mengusahakan garam sebagai mata pencaharian utamanya.
Pada mulanya upacara Nadar tak lepas dari kisah Syekh Anggasuto seorang pendakwah Islam. Yang konon berasal dari Timur Tengah. Sebelum sampai di Madura ia sempat singgah di Cirebon. Pada saat ia tiba di Sumenep Madura Syekh Angga Suto melihat keanehan pada saat air laut Madura surut tepatnya di pantai Pinggirpapas.
Diceritakan ia melihat bekas telapak kaki yang amat besar yang lama kelamaan berubah menjadi gumpalan garam. Dari kejadian tersebut Syekh Anggasuto yang melihat masyarakat Pinggirpapas menganggur kemudian mengajarkan masyarakat desa Pinggirpapas untuk membuat garam. Hingga kini ajaran tersebut diturunkan turun temurun dari generasi ke generasi sehingga masyarakat Madura dikenal sebagai petani garam.
Dalam sumber berbeda disebutkan bahwa warga Pinggirpapas ketika itu adalah pasukan Bali yang terdesak dan harus bersembunyi di Pinggir papas karena serangan mereka terhadap keraton Sumenep justru mengalami kegagalan.
Maka Syekh Anggasuto menyelamatkan mereka dengan memberikan keahlian membuat garam sehingga pasukan Bali dapat menetap di desa Pinggirpapas. Darisini maka dapat dimengerti apabila dalam tata upacara Nadar terdapat unsur dua agama dan dua budaya yakni hindu dan islam.
Upacara Nadar dilangsungkan sebagai bentuk rasa terima kasih masyarakat Madura kepada Syekh Anggasuto yang telah mengajarkan membuat garam.
Prosesi upacara Nadar berlangsung dengan mengirim doa kepada leluhur khususnya Syekh Anggasuto. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan naskah-naskah kuno. Dalam setahun upacara Nadar tiga kali dilangsungkan.
Terdapat beberarapa perbedaan pada upacara nadar kesatu dan kedua dengan upacara nadar yang ketiga baik dalam tempat diadakannya upacara hingga prosesi yang berlansgung.
Dalam upacara nadar yang pertama dan kedua upacara dilangsungkan di sekitar makam Asta atau makam para leluhur suku madura dimana terdapat juga makam Syekh Anggasuto. Sementara upacara nadar yang ketiga dilangsungkan di desa Pinggirpapas, desa pertama Syekh Anggasuto mengajarkan tata cara membuat garam.
Dalam prosesi upacara pertama dan kedua terdapat ziarah pada makam leluhur maka di upacara yang ketiga ziarah diganti dengan membacakan layang. Layang atau macapat adalah naskah kuno yang berisikan berbagai kisah perjalanan hidup manusia.
Dalam naskah layang biasanya cerita yang dibacakan adalah jatiswara yang berkisah jalannya nyawa dan raga di kehidupan manusia serta sampuraning sembah yang bercerita tentang bakti manusia pada Sang Pencipta. Setelah semalaman membacakan Layang. Upacara nadar diilanjutkan keesokan harinya dengan menggelar upacara rasulan yakni upacara doa bersama dengan membawa berbagai makanan untuk dipersembahkan dalam prosesi doa.
Upacara Nadar atau Nyadar telah termasuk ke dalam warisan budaya tak benda dan tercatat di kemendikbud sejak 1 Januari 2017. kini upacara unik nadar dapat ditemukan sekitar bulan Juli dan Agustus setiap tahunnya dan sebelum masa panen garam tiba.***