KALPATARA.ID-Menjelang Hari Raya Nyepi, umat Hindu Bali melakukan melasti, pembersihan kotoran-kotoran duniawi, dalam diri maupun dalam simbol suci. Pemaknaan yang lebih dalam, melasti juga menjaga kelestarian semesta, bukan semata bentuk aktivitas fisik, namun juga dalam bentuk yang ruhaniah.
Waktu pelaksanaan melasti ditetapkan pada Penanggalan Bali pada Pangelong 13 bulan Ciatra (Sasih Kasanga) atau tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi. Di Penanggalan Bali, melasti akan tiba di wuku Uye, Radite Wage. Dalam konversi masehi akan tiba di 19 Maret 2023.
Sementara, Hari Raya Nyepi dijalankan oleh umat Hindu Bali pada 1 Sasih Kadasa. Penanggalan Bali terdiri dari 30 tithi, yang terbagi menjadi tanggal Pananggal 1-15 (mulai tilem hingga purnama) dan Pangelong 1-15 (mulai purnama-tilem).
Pranata melasti termaktub dalam Lontar Sundarigama, yang menyebutkan
Ateka ring cetra masa ring tilem kunang, pasucian watek Dewata kabeh, An ring telenging samudra camananira
yang berarti, jika tiba pada cetramasa (bulan caitra/sasih kasanga) sebelum bulan tilem, para dewata melakukan penyucian menuju pusat samudera.
Dari Lontar Sundarigama ini diikuti oleh umat Hindu Bali dengan melakukan melasti ke sumber air. Cara ini dilakukan mengingat tidak semua wilayah tinggal dekat dengan laut atau samudera. Maka, sumber air seperti danau, sungai atau campuhan (pertemuan dua sungai) menjadi tempat umat melaksanakan melasti. Didasari dengan pengertian bahwa laut dan danau adalah bagian dari sumber kehidupan (tirta amertha).
Kesadaran akan air sebagai sumber kehidupan ini adalah bagian dari menjaga kelestarian alam. Pada tiap-tiap melasti, kesadaran ini diingatkan kembali untuk menjaga sumber kehidupan.
Patut diingat, bahwa tubuh manusia dewasa, menurut Medical News Today, terdiri dari 60-70% cairan. Dengan demikian, manusia dewasa dalam dirinya terdapat pula pusat samudera, karena sebagian besar tubuhnya berisi cairan. Karena itu, di dalam praktik melasti mengandung tujuan seperti tertera pada kitab Renta Swamandala: ngamet sarining amertha kamandalu ring telenging segara, mengambil sari kehidupan di pusat samudera.
Pertemuan antara dua “samudera”, pada tubuh manusia dengan air di alam semesta pun merupakan perwujudan dari pertalian antara bhuana ageng dan bhuana alit.
Melasti tidak hanya dilakukan di Bali. Wilayah lain dengan komunitas umat Hindu Bali juga melakukan melasti di waktu sesuai dengan Penanggalan Bali. Sehingga Penanggalan Bali menempati fungsinya sebagai panduan dalam pelaksanaan upacara, dimanapun umat Hindu Bali berada.
Dalam literasi astronomi internasional, fase bulan 3 hari sebelum new moon, telah masuk dalam fase waning crescent moon. Di kalangan spiritualis barat, dikutip dari Spirituality + Health, fase waning crescent dimaknai sebagai masa pelepasan, sebuah masa untuk melepaskan apa pun yang tidak sesuai dengan kesejatian diri. Fase siklus bulan ini adalah pengingat bahwa hanya dengan melepaskan perspektif, pikiran, dan cerita yang membatasi gerak jiwa, akan dapat menciptakan ruang untuk apa yang harus dilakukan diri yang sejati.
Baca Juga: Hari Raya Nyepi dan Ritual yang Mengiringinya, Sinkronisasi Bumi dan Langit
Di Kabupaten Kediri, melasti juga dilakukan di Waduk Siman. Dalam penelitian Nur Cahyani, Universitas PGRI Nusantara Kediri menceritakan tentang tata melasti dilakukan oleh komunitas Hindu Bali di Waduk Siman yang awalnya merupakan tanggul yang dibuat oleh Rsi Bhagawanta Bari, yang merupakan sesosok pandita agama Hindu. Ritual melasti di Kediri baru dilaksanakan sekitar tahun 1980an, setelah kedatangan Ida Pandita
Wesnawatmaja Nirmala ke Desa Besowo yang berasal dari Bali pada tahun 1979. Karena Kediri jauh dari laut dan nilai sejarah Waduk Siman, maka di tempat itu ditetapkan sebagai pelaksanaan melasti.
Di Klaten, umat Hindu Bali melaksanakan melasti di Umbul Geneng dengan pengambilan air dari sumber mata air sekaligus pembersihan jagat dan segala isinya.
Di dalam praktik kehidupan sehari-hari, menjaga kesakralan air sebagai sumber kehidupan perlu terus diingatkan kembali sebagai bagian dari tugas manusia melakukan tugas kelestarian. Dari bumi kita telah mengambil banyak, dan kembali pada alam untuk menghanyutkan kekotoran yang mengebaki tubuh dan pikiran. Betapa baiknya alam semesta ini.***
Editor: Lisa Sastrajendra