KALPATARA.ID- Masyarakat Dayak Bakumpai yang tinggal di Kampung Mengantip, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, memiliki cara sendiri dalam melakukan konservasi hutan dan air. Yaitu dengan sistem irigasi yang diberi nama Beje.
Beje telah sejak dulu dikenal dan bisa ditemukan di hampir seluruh kampung sekitar pesisir Sungai Barito.
Dalam bahasa Dayak Bakumpai (campuran Dayak Kapuas), kata “Beje” memiliki arti parit. Namun, lebih dari sekadar parit pada sistem irigasi atau perairan. Beje merupakan sistem atau pola yang melekat sebagai kesatuan pada permukiman dan ladang yang berbatasan dengan sungai, kawasan rawa, dan hutan lahan gambut.
Biasanya Beje dibuat di ladang-ladang masyarakat adat yang berlokasi di hutan, khususnya berdekatan dengan kawasan rawa, agak jauh dari permukiman namun tak terlalu jauh dari aliran sungai.
Pembuatan Beje
Beje dibuat menyerupai parit yang lurus. Seolah menjadi batas atau garis pemisah kawasan ladang, hutan, dan permukiman. Panjang Beje tergantung pada luasan ladang yang dimiliki dan semakin dalam semakin bagus. Umumnya, memiliki kedalaman satu hingga dua meter dengan panjang sekitar 10 rentangan tangan.
Permukaan parit dialasi dengan ranting dan daun kering guna memancing ikan untuk bersarang nantinya. Perkakas yang digunakan dalam membuat Beje begitu sederhana, yaitu bencet yang terbuat dari kayu dan besi untuk menggali tanah.
Biasanya pembuatan Beje dilakukan pada bulan ketujuh-kedelapan saat kemarau, yang dikerjakan secara bergotong-royong.
Manfaat Beje bagi Masyarakat
Saat musim hujan, Beje akan terisi air. Saat curah hujan tinggi atau terjadi banjir, Beje memiliki manfaat layaknya sumur serapan (pengendali banjir). Genangan air pada Beje juga akan mengundang ikan-ikan lumpur, seperti gabus, sepat, bapuyuk, tahuman, dan lainnya untuk berumah di permukaan Beje yang telah dialasi ranting dan daun.
Dari sistem irigasi tradisional ini, masyarakat mendapatkan tambahan panen berupa ikan-ikan sebanyak satu sampai dua ton yang dapat dikonsumsi sendiri, dibagi-bagi, atau dijual.
Sementara saat musim kemarau, Beje sangat bermanfaat sebagai cadangan air tanah bagi tanaman di ladang, hutan, dan sumur-sumur penduduk, sehingga musim kemarau tak berdampak pada kekeringan.
Potensi kebakaran hutan juga dapat diantisipasi dengan adanya Beje sebagai tatas apuy (batas api dan pelindung/penghalang api). Jika terjadi kebakaran hutan yang mengancam dan sulit dielakkan, api tak akan meranggas hingga ke permukiman karena terhalang Beje.
Beje dan Aturan Adat
Aktivitas memperbaiki Beje secara rutin dilakukan tiap tahun, sekaligus menjadi momentum panen ikan yang terjadi di bulan keempat-kelima, persis ketika sawah ladang hampir siap petik dan air pada Beje surut (biasanya tersisa air setinggi sekitar 20 cm).
Bagi Masyarakat Adat Dayak yang menerapkan beoluom bahadat atau pandangan sopan santun terhadap Sang Pencipta, leluhur, alam, dan manusia. Dimana pandangan ini memiliki aturan dimana mereka tak boleh merusak atau mengambil terlalu banyak.
Beje merupakan bentuk konservasi hutan dan air yang dilakukan masyarakat adat, untuk menghormati apa yang diwariskan leluhur bagi anak-cucu, menjaga hubungan antar-manusia melalui gotong royong atau kebersamaan, mengoptimalkan hasil perladangan atau perikanan, sekaligus mengupayakan mitigasi bencana dan adaptasi pada perubahan lingkungan sekitar.***