KALPATARA.ID-Wuku Mandasiya (Jawa) atau Medangsia (Bali|) memiliki karakter bawaaan yang dibawa sejak lahir. Hal ini diungkap oleh Penanggalan Pawukon sebagai bagian dari pengetahuan masyarakat tradisi yang didulang bukan hanya dalam waktu sebentar, melainkan pengamatan yang lama.
Wuku Mandasiya atau Medangsia adalah wuku keempatbelas dalam Penanganggalan Pawukon. Selain digunakan sebagai penanda waktu, Penanggalan yang masih diaplikasikan di Jawa dan Bali ini juga dimanfaatkan untuk menelusuri karakter bawaan lahir.
Penanggalan Pawukon adalah asli lahir kegeniusan leluhur Nusantara dalam menyusun konsep waktu. Tidak ditemukan aplikasinya di negara lain.
Wuku Mandasiya atau Medangsia mengambil nama dari Raden Mandasiya atau Medangsia yang merupakan anak keduabelas dari Dewi Sinta dan Prabu Watugunung. Ia adalah saudara kembar Raden Langkir yang menjadi Wuku ketigabelas.
Kelahiran Wuku Mandasiya atau Medangsia berada di bawah naungan Batara Brahma. Di Bali, Dewa Brahma diyakini sebagai Dewanya Dapur, penguasa dan pelindung arah Selatan, bersenjatakan gada, berwahana angsa, memiliki Sakti Dewi Saraswati, atribut serba merah.
Batara Brahma Dalam Konsep Bali dan Jawa
Dalam Pemujaan di lingkungan desa adat, Ia dipuja di sebuah pura yang bernama Pura Desa atau Pura Bale Agung, yang mana dalam pura ini akan ada bangunan yang terbuat dari batu bata sebagai penghormatan kehadapan dia. Sedangkan secara regional Bali, pemujaan Dewa Brahma berada di Pura Luhur Andakasa.
Dalam kitab suci Bhagawadgita, Dewa Brahma disebut-sebut sebagai Dewa pencipta, yang menciptakan alam semesta atas berkah dari Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Siang hari bagi Brahma sama dengan satu Kalpa, dan Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa, setelah itu dia wafat dan dikembalikan lagi ke asalnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pewayangan Jawa, Batara Brahma merupakan putra Batara Guru dan disebut sebagai dewa api. Ia seorang panglima perang yang ulung, dan berkedudukan sebagai senapati angkatan perang Suralaya/Kadewatan.
Batara Brahma pernah turun ke Arcapada, menjadi raja di negara Medanggili bergelar Maharaja Sunda/Rajapati.
Kelahiran Wuku Mandasiya atau Medangsia mengikuti karakter Batara yang menaunginya. Pendiriannya kuat dan teguh. Dengan begitu, ia hadir sebagai pelindung bagi kaumnya.
Dalam bekerja, ia memiliki kecekatan tinggi. Bertanggungjawab serta efisien dalam melaksanakan pekerjaan.
Hatinya memiliki dua karakter yang kadang bisa membingungkan. Di satu sisi, ia murah hati dan penderma. Di sisi lain, jika ada yang menyakitinya, ia tak mudah memaafkan. Dijamin, ia akan terus mengingat apa yang telah dilakukan padanya sehingga membuatnya sakit hati.
Penggambaran Kitab Pawukon Wuku Mandasiya Medangsia
Dalam Kitab Pawukon, digambarkan berbagai simbol yangAAAAA merupakan kode semiotik bagi karakternya. Inilah kehebatan leluhur Nusantara yang menggambarkan karakter melalui hal-hal di sekitar, sehingga pemaknaannya menjadi luas.
Sebagai pohon, ia disimbolkan dengan pohon asam. Pohon ini menyimbolkan karakternya yang layak bagi pelindung. Pohon asam selalu hijau dengan tajuk lebat dan menyebar, memiliki batang berkayu. Daunnya kecil-kecil, rantingnya kuat dan tidak mudah patah. Sehingga ia sering dijadikan peneduh.
Sebagai burung, ia disimbolkan dengan burung pelatuk bawang. Burung pelatuk bawang sangat suka mematuki pohon atau kayu dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam satu detik saja ia bisa mematuk hingga 20 kali. Hal ini merupakan gambaran dari karakternya yang berpendirian kuat dan tidak sabar, sehingga dalam bekerja selalu cepat dan efisien.
Gedhong atau bangunan tergambar di dalam Wuku Mandasiya atau Medangsia. Menandakan ia mampu hidup hemat.
Keris yang cocok untuk Wuku Mandasiya atau Medangsia adalah Pandhawa, Sengkelat, Tebu Sauyun, Bethok, Kebo Teki dan Kebo Lajer***