KALPATARA.ID – Di era flexing modernisasi pangan dan upaya mengkampanyekan kembali bangga mengkonsumsi pangan lokal, masyarakat kampung Cireundeu justru telah lama meninggalkan nasi.
Hampir satu abad lamanya masyarakat desa Cireundeu Cimahi Selatan mengkonsumsi Rasi . Rasi adalah beras yang terbuat dari singkong atau ketela pohon.
Tradisi tidak mengkonsumsi nasi bukan tanpa alasan. Sejarah makan nasi dianggap sebagai pantangan karena pada masa penjajahan bangsa Belanda di Indonesia, beras sangat sulit ditemukan.
Sekitar tahun 1918 sesepuh kampung adat Cireundeu yang dikenal dengan nama Haji Ali melakukan pengembaraan untuk mengakhiri penderitaan masyarakat kala itu.
Dalam perjalanan tetirahnya Haji Ali kemudian bertemu Pangeran Madrais dari kesultanan Cirebon. Pangeran Madrais mendukung keinginan Haji Ali untuk memerdekakan masyarakat Cireundeu yang terjajah terutama soal pangan saat itu.
Haji Ali mendapatkan petunjuk dari para tokoh kerajaan berupa Petuah, “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas. Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo. Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup” (Tidak apa-apa tidak punya huma/ladang, asal punya padi, tidak apa-apa tidak punya padi, asal punya beras, tidak apa-apa tidak punya beras, asal dapat menanak nasi, tidak apa-apa tidak dapat menanak nasi, asal makan, tidak apa-apa tidak makan, asal dapat bertahan hidup)
Maka salah satu bentuk perlawanan yang diajarkan kepada masyarakat Cireundeu adalah dengan tidak lagi mengkonsumsi nasi. Untuk bertahan dan terbebas dari penjajahan pangan masyarakat Cireundeu mengkonsumsi pangan selain beras.
Pada waktu itu menantu Haji Ali bernama Nyi Omah Asnamah yang pertama kali mengenalkan nasi singkong atau rasi. Pembuatan Rasi memang membutuhkan proses lumayan panjang maka berbagai olahan singkong lahir sebagai pengganti nasi.
Dikutip dari situs resmi kemendikbud, pada tahun 1924 masyarakat Cireundeu memproklamirkan diri melakukan diversifikasi pangan dengan tidak lagi mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok.
Sejak saat itu secara turun temurun masyarakat Cireundeu pantangan mengkonsumsi nasi. Pantangan makan nasi telah menjadi bagian keyakinan masyarakat Cireundeu. Apabila dilanggar dikhawatirkan akan terjadi bencana atau hal-hal yang tak diinginkan.
Maka apabila ingin beralih makan nasi maka harus diadakan ritual khusus atau selamatan sebagai upaya menolak bala dan juga agar nasi yang masuk ke dalam tubuh tidak menjadi penyakit. Pantangan makan nasi menjadi sakral bagi masyarakat Cireundeu karena dengan tidak makan nasi kemerdekaan berhasil diraih kala itu.
Selain hukum adat yang menjadikan nasi sebagai pantangan, kepercayaan masyarakat Cireundeu juga berbeda dalam hal sosok mitologi yang diyakini mengatur kesuburan alam Cireundeu.
Bila di daerah lain banyak yang meyakini kehadiran Dewi Sri dalam kehidupan pertanian. Berbeda dengan di Cireundeu yang meyakini Nyai Pohaci. Nyai Pohaci adalah dewi kesuburan dan saripati yang mengurusi kesuburan alam sehingga menghasilkan pangan untuk dikonsumsi masyarakat Cireundeu.
Meski zaman kini semakin pesat berkembang dan masyarakat Cireundeu erbuka terhadap kemajuan zaman, tetapi eksistensi adat budaya masyarakat Cireundeu tetap bertahan. Hal ini sesuai dengan pepatah yang dianut yakni “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman” yang artinya Beribu kepada waktu dan berayah kepada jaman yang maknanya menghargai waktu menghormati jaman.
Rasi telah disetujui untuk masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kemendikbudristek pada tahun 2021 dalam domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.***