KALPATARA.ID-Olah Raga Tradisional Jemparingan, meski memiliki sejarah sejak lama, hingga kini tak pudar ditelan era. Olah Raga ini dilestarikan oleh berbagai komunitas yang tersebar di banyak wilayah Indonesia.
Jemparingan adalah olah raga panahan tradisional. Kata Jemparing dalam bahasa Jawa berarti anak panah. Dalam sejarahnya, berawal dari Kraton Jogja. Diinisiasi oleh Sultan Hamengkubuwono I yang membuka sekolah, dimana salah satu mata pelajarannnya adalah Jemparingan.
Kini, peminat olah raga tradisional ini tidak hanya di wilayah DI Yogyakarta, berbagai komunitas bermunculan dan diikuti oleh berbagai kalangan. Tua, muda, laki-laki dan perempuan tergabung dalam komunitas dan kerap mengadakan kegiatan bersama.
Untuk latihan bersama, komunitas ini memiliki istilah yang disebut gladen. Sedangkan dalam perlombaan-perlombaan, istilah yang kerap digunakan adalah gladen ageng.
Jemparing di Jawa pada awal mulanya lebih dikenal dengan warastro, yang memiliki arti dedher atau anak panah,
sebagian lagi mengartikan sebagai seperangkat alat memanah yang terdiri dari gendewa dan anak panah / dedher.
Selain itu, Jemparing juga dikenal dengan sebutan astra, sara, bana, braja, margana, sayaka dan naraca. Ada pula
yang menyebut jemparing sebagai paser terutama di daerah Trenggalek dan dikenal dengan sebutan pajer di daerah Madura.
Sedangkan Jemparingan Mataraman, dikutip dari penelitian Widyantari Dyah, , Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc.; Dr. Rr. Paramitha Dyah Fitriasari, M.Hum yang berjudul Jemparing dan Jemparingan Mataraman: Makna dan Fungsi, mempnyai karakteristik yang dapat dilihat dari teknik, gandhewa (busur panah), jemparing (anak panah), dan wong-wongan (sasaran) yang digunakan.
Memiliki falsafah “pamenthanging gandhewa, pamanthenging cipta” dan makna yang lebih dalam lagi yang meliputi kehidupan manusia dengan tujuan sebagai masyarakat Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai falsafah “hamemanyu hayuning bawana”.
Komunitas Jemparingan Berbagai Kota
Di wilayah Yogyakarta, berbagai paguyuban Jemparingan berkembang dan melaksanakan kegiatan rutin. Beberapa diantaranya adalah Paguyuban Gandhewa Mataram, Patri Jiwo, Jemparingan Ronggo Sedayu.
Tak hanya di Yogyakarta, jemparingan juga masih dilestarikan di beberapa kota. Salah satunya diinisiasi Komunitas Semut Ireng Pop Archery Sriwedari (SIPAS) Solo. Mereka rutin menggelar gladen atau latihan bersama. Bahkan, lomba menjadi agenda rutin di kota ini.
Di Cirebon, berkibar nama Pasedulurun Jemparingan Cirebon yang juga memiliki kegiatan rutin, serta senantiasa menjadi bagian dari perayaan ulang tahun kota Cirebon.
Di Pacitan, gladen ageng juga menjadi agenda rutin. Mempertemukan berbagai komunitas jemparingan dan beradu titis sekaligus melestarikan budaya.
Wonogiri juga memiliki aktivitas panahan tradisional yang salah satunya diinisiasi oleh Paguyuban Jemparingan Tradisional Wonogiren Samber Nyowo. Gladen yang mereka selenggarakan juga diminati oleh banyak peserta.
Desing panah tradisional ini juga terdengar di Magetan. Dikutip dari laman resmi pemerintah Magetan, dalam gelar gladen di tahun 2022, berkumpulah lebih dari 30 paguyuban dan diikuti oleh ratusan peserta.
Kegiatan jemparingan juga diwarnai dengan pakaian khas Jawa dengan atribut lengkap busur dan anak panah tradisional.
Kita boleh senang, olah raga tradisional ini tak lekang ditelan zaman, berikut dengan nilai filosofinya.***