KALPATARA.ID- Grebeg Syawal merupakan tradisi lebaran yang dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta. Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur untuk mengakhiri bulan suci Ramadhan dan memasuki bulan Syawal.
Grebeg Syawal ini juga merupakan bentuk rasa syukur sang Raja atau Sultan yang diungkapkan dengan membagi-bagikan sedekah. Sedekah tersebut berupa beragam masakan, makanan ringan hingga hasil bumi.
Dalam bahasa Jawa, kata Grebeg berasal dari gembrebeg atau gumegrebeg. Yang artinya sergap atau bisa juga diartikan kegaduhan atau suara angin.
Kata ini dipilih karena tradisi tersebut selalu diakhiri dengan kegaduhan seperti dorongan, teriakan, dan tawa ketika saling berebut gunungan (makanan dan hasil bumi yang disusun membentuk gunung).
Sementara penyematan kata Syawal diberikan karena tradisi Grebeg Syawal diadakan pada tanggal 1 Syawal atau Idul Fitri. Biasanya, tradisi ini dilakukan setelah pelaksanaan Shalat Idul Fitri.
Grebeg Syawal sendiri dilaksanakan sebagai bentuk syukur Sultan karena sudah menyelesaikan puasa selama satu bulan penuh serta ungkapan kebahagiaan menyambut datangnya Idul Fitri.
Sejak tahun 2021, Grebeg Syawal ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Sejarah Grebeg Syawal
Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta, tradisi Grebeg di Keraton Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Awal mula perayaan Grebeg di Keraton Yogyakarta diperkirakan berasal dari tradisi Jawa kuno yang disebut Rajawedha. Di mana raja akan memberikan sedekah demi terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya.
Namun saat Islam masuk di Kerajaan Demak, upacara ini sempat terhenti sehingga rakyat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri tersebut.
Kemudian oleh Walisongo, tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan kembali sebagai sarana penyebaran agama Islam yang mulanya dikenal dengan sebutan Sekaten.
Dari perhelatan Sekaten yang diselenggarakan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa saat menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.
Sejak saat itu tradisi sedekah raja ini mulai berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk memperingati Idul Fitri.
Berawal dari Kerajaan Demak, selanjutnya Kerajaan Islam di Jawa turut memelihara tradisi sedekah raja tersebut.