Simbol Gotong Rotong Masyarakat Aceh
Hal yang menarik dari bubur ini, juru masak tidak bekerja sendiri. Proses memasak di Aceh secara terminologis disebut “woet” yang berarti memasak atau pengadukan dilakukan secara rutin oleh masyarakat Aceh Besar.
Prosesnya dilakukan secara bersamaan melibatkan orang tua, remaja dan anak-anak, dan kontribusi perempuan untuk mewakili rasa
kebersamaan yang mengandung nilai solidaritas selama Ramadhan
Setiap hari, empat pemuda dipilih oleh pemuka desa untuk memasak bubur. Mereka ditugaskan mencari kayu bakar, dedaunan, atau mengaduk bubur. Para pemuda didampingi seorang sesepuh kampung yang mengawasi proses pembuatan bubur tradisional tersebut.
Sebelum proses memasak dimulai, dua minggu hingga sebulan sebelumnya para ibu sudah menyiapkan bahan-bahan untuk memasak.
Abdul Manan menambahkan dalam jurnalnya, Untuk mencukupi ke-44 macam bumbu tersebut tidaklah mudah karena banyak di antaranya sudah tidak ada lagi atau mungkin tidak dapat tumbuh dengan baik hutan. Jadi tanaman itu didapat dari hutan yang terletak 10 kilometer dari tempat tinggal penduduk pemukiman.
Tanaman itu tumbuh sendiri di hutan dan hal ini perlu untuk dijaga dan dilestarikan karena beberapa diantaranya berasal dari tanaman khusus yang hanya tumbuh di daerah kering dan daerah tandus
Ie Bu Peudah dimasak dalam belanga besar atau “beulanga” dalam bahasa Aceh yang diameternya melebihi 1 meter. Selain itu, butuh tenaga ekstra untuk memasaknya. Bubur harus terus diaduk selama 2-3 jam agar tidak menjadi kerak.
Dari proses pembuatan kuliner ini, terlihat gotong royong menjadi kunci keberhasilan pembuatan Ie Bu Peudah ini.
Sebagai makanan khas Aceh Besar, Ie Bu Peudah ini sudah turun temurun dan dilestarikan di Aceh. Kegiatan memasak Ie Bu Peudah biasanya dilakukan di masjid lalu dibagikan ke masyarakat. Sehingga Ie Bu Peudah juga disebut sebagai perekat silaturahmi sesama masyarakat.***