KALPATARA.ID– Beberapa tahun terakhir ini, isu perubahan iklim dan lingkungan mengundang banyak pihak ikut bersuara, termasuk juga pranks greenwashing
Seiring dengan isu perubahan iklim, marak pula tren untuk menyelamatkan bumi. Seperti yang dapat kita cermati melalui berbagai produk, layanan, dan gaya hidup yang diberi label sustainability atau berkelanjutan dan istilah sejenis lainnya.
Dapat disebutkan bahwa, label sustainability itu merupakan strategi pemasaran perusahaan dan komunikasi untuk memberikan citra yang ramah lingkungan akan tetapi sebenarnya adalah prank atau palsu belaka, yang dikenal sebagai istilah Greenwashing.
Sehingga greenwashing bisa dikatakan sebagai kalengkaleng . Karena berdasarkan klaim untuk menipu konsumen atau pihak lain agar percaya bahwa produk suatu perusahaan ramah lingkungan.
Praktik Greenwashing ini, dilatarbelakangi oleh kewajiban perusahaan untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), yang bertujuan dalam ‘Pembangunan Berkelanjutan’ yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tindakan greenwashing dapat membuat suatu perusahaan terkesan sustainable dalam laporan pertanggungjawabannya terhadap SDGs. Dan dapat dilakukan dengan memperbesar dampak yang sebenarnya kecil, memasukkan aktivitas yang padahal normal dilakukan perusahaan sebagai inovasi untuk mencapai SDGs. Atau bahkan menyisipkan hal yang tidak berhubungan dengan capaian tersebut.
Sebagai contoh, dalam target SDGs 12.5, tertulis “Pada tahun 2030, secara substansial mengurangi produksi limbah melalui tindakan pencegahan, pengurangan, daur ulang dan penggunaan kembali”.
Demi tercapainya target ini, perusahaan berpotensi melakukan greenwashing dengan menyebutkan bahwa produknya dapat didaur ulang dan digunakan kembali. Faktanya sendiri tidak sesuai dengan klaim mereka.
Sejarah Greenwashing
Istilah greenwashing pertama kali dipopulerkan oleh seorang ahli lingkungan bernama Jay Westerveld melalui esai kritisnya pada tahun 1986.
Dalam esai tersebut, Jay mengkritisi gerakan “save the towel” yang dilakukan hotel dengan meminta para tamu untuk menggunakan handuk mereka kembali guna menyelamatkan lingkungan.
Padahal, Jay memperhatikan ada banyak limbah yang ia temukan di hotel, tanda bahwa hotel tersebut tidak benar-benar peduli lingkungan.
Dengan demikian, gerakan “save the towel” tersebut sebenarnya hanyalah ‘akal-akalan’ pihak hotel agar mereka memperoleh keuntungan berupa rendahnya biaya laundry.
Bentuk-bentuk Praktik Greenwashing
Secara umum bentuk-bentuk praktek greenwashing dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Penekanan kata-kata Keberlanjutan yang berlebihan
Biasanya perusahaan akan terlalu menekankan kata-kata berkelanjutan mengenai produk, layanan, atau programnya, seperti pemakaian diksi “alami”, “hijau”, dan “ramah lingkungan” yang berlebihan.
2. Penggunaan Istilah yang Tidak Jelas
Umumnya, produk yang dikeluarkan sebuah perusahaan juga menggunakan kata-kata yang tidak jelas maksudnya, seperti biodegradable, non-toxic, pure, save the earth dan istilah lainnya.
3. Tanpa dukungan bukti yang kuat
Perusahaan yang mengkalim bahwa produknya ramah lingkungan, tetapi tidak didukung oleh bukti yang jelas. Bahkan, perusahaan juga mungkin saja menggunakan sertifikasi keberlanjutan yang tidak sah atau tak berbasis sains.
4. Hanya Fokus untuk Mempromosikan Produk
Perusahaan yang kerap lebih gencar untuk mempromosikan produk dan mengklaimnya sebagai ramah lingkungan, dibanding benar-benar melakukan aksi yang ramah lingkungan.
5. Tetap Mendorong Konsumen Berperilaku Konsumtif
Salah satu aksi mendasar untuk mendukung lingkungan adalah dengan mengurangi (reduce). Namun, perusahaan yang melakukan greenwashing cenderung tetap mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak produk.
Dari bentuk-bentuk praktik greenwashing diatas dapat dijadikan indikator bagi kita, untuk mendapatkan insight bagaimana menilai dampak negatif dari praktek greenwashing bagi lingkungan.
Namun, tentu saja greenwashing itu sendiri tidak akan terjadi jika terdapat keinginan dari sisi masyarakat umum sebagai konsumen untuk menghentikannya. Karena itu, ada beberapa langkah yang perlu kita ambil sebagai konsumen.***