KALPATARA.ID– Masyarakat Kampung Kalaodi, Kota Tidore, Maluku Utara, memiliki upacara adat dalam menjaga alamnya, yang diberi nama Paca Goya, upacara adat yang dilakukan sehabis musim panen besar cengkeh atau pala.
Tradisi ini semacam istirahat dari beragam aktivitas, dimana selama tiga hari masyarakat berhenti beraktivitas baik ke kebun atau pekerjaan lain. Mereka juga membersihkan tempat-tempat yang dianggap keramat seperti bukit dan gunung.
Dalam bahasa Tidore, Paca bermakna ‘menyapu atau membersihkan’. Goya dari kata Goi berarti sesekali berkunjunglah ke sana. Atau bermakna tempat keramat dan sekali-kali harus dikunjungi. Upacara ini dipimpin oleh sowohi atau pimpinan adat.
Sowohi menjadi tokoh paling berpengaruh karena mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan dan prosesi adat. Tokoh Sowohi ini berperan penting terutama dalam penyelenggaraan ritual adat. Sowohi ini masuk dalam struktur Kesultanan Tidore, di Maluku Utara.
Dalam Paca Goya, ada acara disebut legu dou atau syukuran antar lembah. Dalam upacara ini, ada permintaan yang disampaikan pada penjaga alam. Melalui Paca Goya, warga yang akan membuka lahan menyampaikan permohonan izin pada penjaga lembah.
Paca Goya telah teregistrasi sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2020 dalam kategori adat istiadat, ritus, perayaan-perayaan.
Makna Penting Paca Goya
Upacara Paca Goya memiliki makna penting bagi masyarakat Kalaodi yaitu mempertemukan warga yang telah berpencar ke berbagai tempat. Biasanya, mereka hadir kala ada kesempatan, terutama mereka yang merantau ke Ternate, Halmahera hingga Papua. Setiap orang Kalaodi yang merantau pasti diberitahu keluarga jika akan upacara adat. Mereka datang jika punya waktu.
Ritual Paca Goya, menunjukkan ketaatan masyarakat Kalaodi dalam menjaga hubungan dengan alam. Dalam menjaga alam, masyarakat Kalodi memiliki tradisi untuk tidak merusak alam dan tidak mengambil hasil bumi secara berlebihan.
Sumpah Adat Bobeto
Bagi masyarakat Kalaodi, merupakan hal yang tabu merusak atau menebang pohon sembarangan. Bagi pelanggar akan dikenai bobeto. Bobeto ini merupakan sumpah adat yang sudah berjalan turun menurun. Sumpah diucapkan bobato adat atau pemimpin adat.
Bobeto bisa juga disebut fatwa atau perjanjian oleh lembaga adat di Kalaodi, yang harus ditaati oleh masyarakatnya. Bunyi Bobeto dalam bahasa Tidore, yakni “nage dahe so jira alam, ge domaha alam yang golaha so jira se ngon.” yang artinya siapa merusak alam, nanti dirusak alam.
Sebagai peraturan adat, Bobeto dipegang teguh oleh masyarakat Kalaodi. Dalam tradisi setempat, ada kepercayaan tak bisa menebang atau merusak pohon-pohon tertentu, karena diyakini bisa kena dampak buruk seperti sakit. Ada juga lembah dan bukit tak bisa dirusak karena diyakini ada penjaga.
Masyarakat Kampung Kalaodi mempertahankan tradisi semata-mata menginginkan alam tetap terawat dan terjaga, demi kelangsungan hidup manusia serta alamnya.***